12 September 2011
(Tanggal 15 bulan 8 tahun lama China)
Tentang Purnama Cinta yang Ku Rindu
Ruh, malam ini rembulan cantik sekali. Aku hanya bisa mengintipnya dari balik jendela di bilik kesunyian kita. Samar terlihat Akasiaku bermandikan cahaya purnama, jemari kuningnya menari bersahaja. Angin malam membelai sempurna pucuk-pucuk daunnya. Tapi tak kutemukan senyuman di wajah Akasiaku.
Ruh, kamu yang paling mengerti betapa ku merindu purnama, ingin menyaksikan purnama sempurna. Tapi bukan di langit! Aku ingin menemukan purnama di wajah mereka. Wajah-wajah kekasih hati. Wajah-wajah yang ku sayangi karena-Nya.
Ruh, seringkali aku bertanya pada diriku. Salahkah aku yang miskin cinta, berubah ‘serakah’ karena cinta? Demi cinta aku selalu berusaha merampas setiap sakit yang diderita orang-orang yang ku cinta. Karena cinta aku melukis hujan dan mencipta telaga. Sebab cinta, aku selalu ingin merengkuh segenap rapuh orang yang ku cinta. Hingga ku melupa diriku juga rapuh, inginkan cinta bukan hanya mencintai saja.
Ah, Ruh… hampir setiap orang bilang cinta itu datang dari mata turun ke hati. Dan aku tak pernah mempercayainya. Hati itu ada dalam diri kita, Ruh… Harusnya kita bisa mengaturnya! Tapi kenapa jika cinta mengada, kita hilang kuasa terhadap hati kita? Menurutku cinta itu datang dari langit menghujan di hati kita, Ruh. Seperti bumi yang tak pernah mampu menolak hujan, begitulah hati.
Ruh, malam ini ku ingin kembali melangitkan kata. Masih kata yang sama, hanya dengan rasa berbeda, rasa yang ku temukan dari palung hatiku yang terdalam. Rasa cinta karena cinta-Nya. Rasa cinta yang melahirkan mereka sebagai keluargaku, saudaraku dan sahabatku.
bersama purnama
kutaburkan doa-doaku
pada lautan malam,
buat insan perindu
yang bersenandung
dalam 8 nada kehidupannya
yang meratapi kesepian
beterbangan di tiap butiran nada
yang mengalir dari hatinya
kusandarkan doa-doaku
di rimbun kegelapan
memohon cahaya batin dan cahaya sukma
atas nama kekasihnya
atas nama-Nya
Ruang Ungu Hatiku
23:35 Pm
(Tanggal 15 bulan 8 tahun lama China)
Tentang Purnama Cinta yang Ku Rindu
Ruh, malam ini rembulan cantik sekali. Aku hanya bisa mengintipnya dari balik jendela di bilik kesunyian kita. Samar terlihat Akasiaku bermandikan cahaya purnama, jemari kuningnya menari bersahaja. Angin malam membelai sempurna pucuk-pucuk daunnya. Tapi tak kutemukan senyuman di wajah Akasiaku.
Ruh, kamu yang paling mengerti betapa ku merindu purnama, ingin menyaksikan purnama sempurna. Tapi bukan di langit! Aku ingin menemukan purnama di wajah mereka. Wajah-wajah kekasih hati. Wajah-wajah yang ku sayangi karena-Nya.
Ruh, seringkali aku bertanya pada diriku. Salahkah aku yang miskin cinta, berubah ‘serakah’ karena cinta? Demi cinta aku selalu berusaha merampas setiap sakit yang diderita orang-orang yang ku cinta. Karena cinta aku melukis hujan dan mencipta telaga. Sebab cinta, aku selalu ingin merengkuh segenap rapuh orang yang ku cinta. Hingga ku melupa diriku juga rapuh, inginkan cinta bukan hanya mencintai saja.
Ah, Ruh… hampir setiap orang bilang cinta itu datang dari mata turun ke hati. Dan aku tak pernah mempercayainya. Hati itu ada dalam diri kita, Ruh… Harusnya kita bisa mengaturnya! Tapi kenapa jika cinta mengada, kita hilang kuasa terhadap hati kita? Menurutku cinta itu datang dari langit menghujan di hati kita, Ruh. Seperti bumi yang tak pernah mampu menolak hujan, begitulah hati.
Ruh, malam ini ku ingin kembali melangitkan kata. Masih kata yang sama, hanya dengan rasa berbeda, rasa yang ku temukan dari palung hatiku yang terdalam. Rasa cinta karena cinta-Nya. Rasa cinta yang melahirkan mereka sebagai keluargaku, saudaraku dan sahabatku.
bersama purnama
kutaburkan doa-doaku
pada lautan malam,
buat insan perindu
yang bersenandung
dalam 8 nada kehidupannya
yang meratapi kesepian
beterbangan di tiap butiran nada
yang mengalir dari hatinya
kusandarkan doa-doaku
di rimbun kegelapan
memohon cahaya batin dan cahaya sukma
atas nama kekasihnya
atas nama-Nya
Ruang Ungu Hatiku
23:35 Pm