twitter


BBHB_Yully Riswati

18 September 2011
Tentang Kerinduanku Pada Ibuku

Ruh, hari ini aku menangis di depan teman-temanku.
 
Seperti biasanya,Ruh, tiap bulan di minggu pertama, forum mengadakan kegiatan rutin diskusi kepenulisan. Dalam diskusi itu kami mengulas buletin forum mulai dari cover, layout sampai isinya yang berupa tulisan-tulisan anggotanya.

Setelah bedah kisti, cerpen dan jurnal, kami sampai pada acara bedah puisi. Dan ternyata salah satunya adalah puisiku yang berjudul ‘Rindu Ibu’.
Oh, ya, Ruh… biasanya kami menyebut acara bedah tulisan dengan acara pembantaian tulisan. Karena saat tulisan kami diulas, maka kami seperti sedang dibantai. Mesti siap dengan kritikan pedas dan berbagai macam komentar yang tentunya relatif dari masing-masing komentator.

Sebelum dibedah, puisiku dibacakan oleh salah satu teman. Baru mendengar pembacaan puisiku, mataku sudah mendung. Meski temanku membacanya tidak serius (dengan diselingi senyum-senyum) tapi tetap saja ada haru kurasa. Dan begitu pula kulihat dirasakan beberapa temanku lainnya.

“Sepertinya aku pernah baca puisi ini dalam event lomba? Dimana ya? Menang nggak?” komentar pertama salah satu temanku.
“Iya, Puisi ini diikutkan dalam lomba puisi kerinduan pada Ibu khusus BMI-HK. Tapi karena mungkin belum sesuai dengan selera juri, jadinya nggak menang.” Aku masih bisa tertawa.
Selanjutnya komentar-komentar masih bisa kujawab dengan rasa biasa. Sampai pada pertanyaan Mbak Andina, senior sekaligus guru kami di forum.
“Sebenarnya saya suka puisi ini, bisa dipahami dan dimengerti maksudnya. Tapi saya kok jadi agak gimana gitu dengan pemilihan kata dikalimat terakhir. Tak ada yang lebih mawar dari luka rinduku padamu. Kenapa mesti pakai kalimat ini, Dek?”
“Saya ingin menyampaikan kalau rindu pada ibu melukaiku, Mbak.”
“Iya, saya mengerti tapi kenapa memakai kata ‘Mawar’? Mawar itu kan melambangkan keindahan? Kenapa ‘luka’?”
“Kan mawar berduri jadi luka, loh, Mbak” jawabku ngawur. Untuk menyembunyikan perasaanku yang mulai mengharu biru.
Akhirnya teman-temanku sahut menyahut komentar. Benar-benar diskusi yang hidup, masing masing mengartikan bait terakhir puisiku dengan versi mereka sendiri. Sampai akhirnya Mbak Dhieny bersuara, “Sudah teman-teman. Saya bisa memahami apa yang dimaksud Yuli dalam bait terakhirnya. Dan tidak ada yang salah dengan bait tersebut.”
Air mataku seketika tak tertahan lagi, Ruh. Aku menangis. (Dasarnya emang cengeng.)
“Mbak, yang saya maksud dengan bait terakhir puisi itu, hanya ingin menggambarkan dan menyampaikan perasaan tentang Ibu. Bagaimana kerinduan saya pada Ibu teramat indah layaknya mawar, tapi begitu menyakitkan bagi diri saya sendiri. Bahwa merindukan seseorang yang bahkan wajahnya saja tak pernah kita lihat, teramat menyakitkan.”
Semua diam. Berusaha menenangkanku. Tak menyangka bedah puisiku menjadi bedah hati juga. Mereka yang sebenarnya tak pernah tahu ceritaku tentang Ibuku, menjadi mengerti.

Ruuuuuuuhhh…. Aku rindu Ibu!
 
Rindu Ibu 
Oleh : Arista Devi

Ibu...
Meski wajahmu tak mampu kulukiskan
Bayangmu tak bisa kumusiumkan
Tetapi adamu tetap kukenangkan
Karena engkau perantara hadirku kedunia.

Ibu…
Bergetar hatiku ketika menyebut namamu
Satu kata mengandung beribu makna berjuta rasa
Satu kata berbalut semesta cinta
Kasih suci tiada mendua

Ibu…
Tak ada bait puisi untukmu
Tak ada cerita panjang tentangmu
Hanya ada setangkup doa
Dan senandung kerinduanku

Ibu….
Sungguh ingin kukatakan
Tak ada yang lebih mawar dari luka rinduku padamu.

(To Kwa Wan, 12/5/2011)
 
Ruang Ungu Hatiku
20:00Pm

0 Coment:

Posting Komentar