twitter


BBHB- Rahma Esti
Refleksi akhir bulan : Komitmen, Serius, Berdo’a
Senin, 31 Oktober 2011
                Mengakhiri bulan semoga sekaligus menjadi awal untukku menapaki lembaran baru menjadi orang-orang beruntung yang hari ini lebih baik daripada hari kemarin. Aamiin.
                Kemarin, bulan lalu, tahun lalu aku punya sederet target yang ingin kuraih dalam waktu terdekat, waktu mendatang, dan mendatangnya lagi. Semua yang kuimpikan aku tuliskan. Misalnya saja sampai bulan Desember nanti aku menargetkan skripsiku selesai.
                Untuk hal yang satu ini aku sudah mulai merancangnya sejak awal tahun 2011 lalu. Pokoknya bulan ini harus maju judul, di-acc, penelitian, ini itu dan seterusnya. Hingga menginjak bulan berikutnya. Nggak ada progress. Bahkan sedikit demi sedikit mulai tergeser oleh aktivitas lain yang membuatku merasa lebih free, lebih bebas untuk kesana kemari.
                Hasilnya? Teman-teman seangkatanku sudah lebih dulu mengenakan toga di hari wisudanya beberapa bulan yang lalu. Dan aku…kira-kira kapan ya selesai penelitian ini??????
Terlepas dari faktor-faktor lain yang mempengaruhi, aku ingin sejenak menengok diri sendiri. Evaluasi, harus! Apa yang telah kuperbuat selama ini, ada apa dengan targetku yang tak kunjung tercapai?
Aku rasa ada masalah dengan diriku sendiri. (NOTE : terlepas dari faktor-faktor lain yang mempengaruhi). Ini masalah komitmen dan keseriusan. Ini hasil perenunganku. Kalau selama ini aku mengaku sibuk, kurasa teman-temanku juga punya aktivitas lain selain menulis. Kalau aku beralasan ini itu kurasa karena aku tidak benar-benar mengatasi permasalahanku dan tidak menjaga keseriusanku dalam mewujudkan impianku.
                Tapi semuanya tidak terlepas dari Dia. Seberapa besar kita berharap, memohon kepada-Nya, sabar menjalankan perintah-Nya. So, terakhir aku dapat pencerahan. Mulai saat ini harus serius. Sepertinya tidak ada kata terlambat. Usaha yang keras diiringi doa yang mantap. Allah pasti bersama kita.***


[Bukan Buku Harian Biasa] – Yulina Trihaningsih
Tangerang. Ahad, 23 Oktober 2011 – Mimpi
 
                Hidup terasa lebih hidup bagiku setahun belakangan ini. Mungkin aku termasuk manusia yang telat menyadari apa sebenarnya mimpi-mimpi dalam hidupku. Ternyata, mengenali apa sebenarnya mimpi-mimpi kita, lalu memberanikan diri melangkah masuk ke dunia yang kita impikan, tenggelam dalam lautan dunia asing yang belum pernah kita pijak, membuatku tersadar ada hal-hal yang begitu menyenangkan untuk diperjuangkan, ternyata.  
                Aku tidak pernah menyesali keputusanku untuk menjadi Stay at Home Mommy. Tidak pernah merasakan bekerja kantoran dan menerima gaji :D. Namun, setelah sepuluh tahun berlalu, mengapa kurasakan sesuatu yang mengganjal? Aku merasa kehilangan sesuatu dalam diriku. Padahal, aku bukanlah ibu yang hanya diam di dalam rumah. Hari-hariku selalu terisi dengan kegiatan belajar dan mengajar, dan bertemu dengan banyak orang. Tapi, mengapa sering kurasakan sepi?
                Maka, aku mulai lagi menuliskan segala resahku dalam blogku di multiply yang sudah lama mati suri :D, dan terkadang catatanku itu aku share pula di FB. Tidak sering memang, namun suatu hari seorang teman lama di masa kuliah mengomentari catatan-catatan kecilku itu. Seseorang yang memang kukenal sebagai penulis sejak dulu J.
                Dia memotivasiku untuk terus menulis dan menyarankanku untuk ikut lomba-lomba kepenulisan online. Tidak lupa diperkenalkannya link di FB yang berisi banyak info tentang lomba kepenulisan online. Tiba-tiba saja aku seperti terbangun dari tidur panjangku. Aku seperti menemukan lagi semangat baru dalam hidupku, ketika kusadari seseorang telah menunjukkan dengan jelas kepadaku dunia yang sesungguhnya telah lama kucintai, namun entah mengapa aku seperti tersesat untuk masuk kembali ke dalamnya. Ketika kujelaskan kepadanya bahwa alasanku menulis hanyalah untuk ‘membebaskan’ perasaanku, dengan bijak dia membalas:
                “Menulis itu kan tidak harus untuk dinikmati sendiri. Bila orang lain bisa tercerahkan dengan tulisan kita, berarti kita sudah bersedekah kata ....”
Sejak saat itu, aku sangat menikmati hidup dengan bermimpi. Hari-hari terlewati dalam dunia aksara, bergabung dalam komunitas kepenulisan dan bertemu dengan banyak orang dengan mimpi yang sama. Sungguh, mimpi inilah  yang membuat hidupku terasa penuh warna dan menyenangkan.
 
*Berterima kasih kepada sahabat lama: Nursalam AR.


Ujian
19 Oktober 2011
Setiap manusia yang dilahirkan di dunia ini pasti mendapatkan ujian. Namun Allah memberikan ujian sesuai dengan kemampuan kita.
Hari ini aku tidak beraktivitas yang menghabiskan banyak energi. Secara fisik memang tidak terlalu lelah. Tidak seperti biasanya yang dikejar agenda. Jam 06.00 ikut kajian, jam 07.30 harus sudah meluncur di dunia skripsi. Jam 11.00 ngantri konsultasi, makan siang, shalat, rapat-rapat (kutulis jamak karena satu hari lebih dari satu rapat).
Ya, untungnya hari ini tidak terlalu menghabiskan banyak energi. Aku pun santai. Dalam hati aku sudah berniat menyelesaikan deadline-deadline cerpen yang harus segera dikumpulkan.
Jam-jam selepas maghrib anak-anak kos sudah pada riuh. Ada yang sibuk tilawah, teriak-teriak ngantri kamar mandi, atau makan di aula depan. Ya, begitulah kosan aktivis. Berkumpulnya kalau hari sudah malam.
Di tengah riuhnya mereka aku menyingkir ke kamar mengutak atik laptop. Namun baru beberapa menit tiba-tiba tubuhku lemas. Entah, aku pun heran. Lemas bukan main. Mata berat. Aku mengantuk. Apa yang terjadi setelah itu aku tidak ingat lagi.
Baru sekitar jam sembilan aku terbangun, dikagetkan suara adikku yang menggedor pintu kamar. Laptopku berkedip dan hanya menampilkan gambar demi gambar.
                “Mbak! Ibunya Mas Bagus meninggal.”
Aku setengah sadar. Kubuka mata dan mencoba mengenali suasana sekitar. Oh ya Allah, bukankah aku tadi mau mengerjakan deadline cerpenku? Ya ampun, gantian laptopku yang memandangi aku.
                Suara adikku diulang lagi. Kali ini aku sadar sepenuhnya.
                Ibunya Bagus me…ninggal? Innalillaahi.
Aku melompat keluar kamar. Mencari kelengkapan informasi yang baru saja kudapat. Antara percaya dan tidak aku juga mengirimkan pesan singkat ke salah seorang teman dekat. Mencoba meyakinkan kalau berita yang baru saja kudengar bukan kabar burung.
         Ternyata benar. Ibunya sahabatku telah dipanggil-Nya. Aku merinding. Ya Allah, aku tidak bisa membayangkan apa yang dirasakan Bagus saat itu.
              Sehari sebelumnya dia baru tiba di Solo untuk keperluan konsultasi skripsinya. Padahal jarak antara kotanya dengan Solo sekitar delapan jam perjalanan dengan bus. Padahal lagi, dia harus membantu mencari nafkah keluarga karena ibunya terbaring tak berdaya karena kanker. Dan malam ini, dia harus menerima kenyataan kalau wanita yang melahirkannya itu dipanggil Yang Maha Kuasa.
             Aku beristighfar. Siang tadi aku baru saja mengeluh pada orangtuaku. Kiriman uang yang terlambat dikirim padahal kebutuhan menumpuk membuatku hampir menangis. Ah, ampuni aku ya Allah. Ternyata ada sahabatku yang diuji lebih daripada aku. Tentunya kalau itu terjadi padaku, aku tidak bisa membayangkan apakan aku akan sanggup menjalaninya atau tidak.
            Ya Allah, aku memohon ampun atas kekhilafanku. Dan semoga sahabatku Engkau beri kekuatan iman serta kesabaran yang lebih. Semoga amal baik ibunya menjadi pemberat timbangannya kelak di hari kiamat.  
 
Iyyaakana’budu waiyyaa kanasta’iinu. Hanya kepada Engkau kami menyembah dan hanya kepada Engkau kami mohon pertolongan.
 


Terima kasihku pada WR!
Aku ga akan pernah menyesal menghabiskan detikku, menitku dan hariku di depan laptop tua kesayanganku ini. Didukung peranan modem yang luar biasa karena sinyalnya yang ilang timbul yang semakin membuatku terlatih kesabarannya.
Salah satu hal yang membuatku BETAH di depan laptop tua ini adalah karena saat aku OL aku senang karena begitu bnyknya notifications dan rata-rata itu dari grup Writing Revolution ataupun dari WR 07. Oh Tuhan, hidupku serasa berwarna ketika ‘bertemu’ dengan mereka. Orang-orang hebat lagi luar biasa yang banyak menginspirasiku setiap hari.
Yapp. akhirnya aku menemukan cita-citaku, yakni PENULIS. tapi aku sadari kemampuan nalarku yang belum seberapa. Tapi aku yakin akan rasa ingin tahu-ku inilah yang merupakan anugrah terindah dari Sang Maha Kuasa. Hasilnya. aku selalu dipertemukan dengan orang yang baik hatinya dan mau berbagi. Puji Syukur Alhamdulillah. Terima Kasih WR. Pelan-pelan aku kan belajar. LAGI dan Lagi. Tak kenal lelah. Semoga Allah SWT meredhoi kita semua. J
 
Kamis, 20 Oktober 2011
‘Peri Ungu’ di Bukittinggi


10 Oktober 2011
Harus Bisa!

Ruh, menjadi bisa ternyata tak mudah. Aku harus terpaksa memaksa diriku untuk tetap bertahan menghadapi segala ujian, membiasakan diri untuk terbiasa dengan segala duri yang menggoresku di sepanjang perjalanan. Apapun yang terjadi, aku harus bisa!
Ruh, sudah lama aku tak mengikuti perlombaan. Seperti biasanya, aku menulis tergantung pada mood. Jika sedang di atas normal, aku lebih suka menulis catatan. Catatan yang ku simpan dan ku baca sendiri sebagai terapi diri sendiri. Kadang juga ada beberapa yang sengaja aku tulis dalam catatan facebook atau ku kirimkan kepada seseorang yang ku percaya dan mengerti aku.
Ruh, giliran malam ini, aku ada selera berlomba, ternyata justru membuatku kecewa. Lomba yang ku ikuti ini adalah lomba membuat resensi sebuah buku kumcer dari sebuah Grup di FB, salah satu grup tempatku belajar menulis. Awal keinginanku mengikuti lomba ini simple saja, aku mengidolakan para penulis cerpen dalam buku tersebut. Mengidolakan bukan karena keterkenalan mereka, tapi justru pada kesederhanaan mereka. Yang meskipun sudah terkenal, masih peduli kepada penulis pemula seperti aku ini. Mereka bersedia menjawab pertanyaanku atau sekedar memberi kripik pedas pada tulisanku, hal itu sungguh membuatku senang.
Buku yang akan diresensi itu sengaja ku datangkan jauh-jauh dari Indonesia. Baru kemarin sampai. Meskipun sebelum membeli aku sudah membaca dengan pinjam dari seorang teman, begitu buku itu datang aku baca berulang kali. Karena menurut tulisan yang aku baca, kalau ingin membuat resensi mesti mengerti isi buku yang diresensi.
Selesai membaca dan sekaligus sambil terus baca, aku membuat resensi sebisaku. Karena jujur saja, Ruh, aku tak yakin tulisanku itu sebuah resensi. Berkali baca, berkali tulis, berkali edit. Kemudian aku pubhlis dalam catatan FB, serta mengirim link catatan ke panitia lomba. (Seperti syarat lomba). Sungguh, sebenarnya aku sama sekali tak PD dengan tulisanku, karena aku percaya pasti banyak yang lebih pandai menulis dan mengikuti lomba ini. Tapi aku mengingat semua tujuan awalku. Hanya berpartisipasi tanpa ambisi menang. Boro-boro mikir menang, mikir tulisanku pantas nggak diikutkan lomba saja sudah pusing.
Dan tahu apa yang terjadi,Ruh? Tulisanku dikomentari sebagai tulisan hasil PLAGIAT/COPAS dari tulisan orang lain. Tuing! Tuing! Aku kaget setengah mati, Ruh. Hiks sediiihhhhh… capek-capek mikir dan nulis, eh ternyata. Uft! Aku rasanya seperti dilempar batu, Ruh. Kepalaku langsung pusing gara-gara kagetku.
Aku berusaha menenangkan diriku. Segera aku tutup akun FB-ku, karena tak ingin semakin sakit membaca komentar-komentar orang tersebut. Orang itu ternyata salah satu peserta lomba juga, merasa tulisanku sama dengan apa yang ditulisnya dan ditulis beberapa peserta yang lain. Makanya dia emosi tingkat tinggi. Dan aku? Aku juga emosi, tidak terima! Tapi kamu tahu, Ruh, kalau marah besar aku justru menggunung, tak bisa berkomentar. Hhh…
Aku tak habis piker, Ruh. Kami meresensi buku yang sama, bukankah kemungkinan untuk menulis sama itu ada? Kalau pun copas atau plagiat, bukankah aku mesti membaca tulisan mereka? Bagaimana aku bisa meniru atau mengcopas tulisan mereka, jika aku tidak membacanya?
Andai saja mereka tahu, ya, Ruh. Aku ini seorang babu yang bekerja 24 jam dalam rumah majikan. Kalau aku ingin OL FB otomatis mesti mencuri-curi waktu dari majikanku. Ada lagi, aku ini asli gaptek. Sampai dengan hari ini, mengetik saja pakai dua jari. Hmmm aku taka da waktu untuk membuka dan membaca catatan peserta lain, kecuali yang memang di tag ke akunku. Sedangkan orang yang komentar itu, tak pernah berinteraksi denganku. Hmm…
Ruh… Hiks… (Bisa menangis juga nih. Lumayan lega.)
Aku curhat pada orang-orang terdekatku, Ruh. Dan jawabannya membuatku tenang.
“Mba nggak usah mikir. Berarti orang yang komen itu kelihatan nggak bener. Namanya juga resensi buku, bukunya sama. Ya pastinya banyak kemungkinan untuk sama. Lagian kata-kata kan terbatas, kalau sudah digunakan orang lebih dulu, apa kita nggak boleh pakai? Sabar, ya, Mba… Adik, juga pernah mengalaminya.”
“Sabar, Mak… Para Suker & Juri pasti mengerti maksud Mamak. Mungkin saja dia jarang mengikuti lomba dan berambisi untuk menang, jadinya seperti itu. Santai aja lagi, Mak…”
Ah, Ruh, aku berusaha menyikapi semuanya dengan tenang. Menganggap semuanya sebagai duri, sebagai kerikil dalam perjalananku. Meski jujur saja, Sakiiittt!!! Aku tak akan menjadikan semua ini membuatku trauma atau malas menulis. Aku akan buktikan bahwa aku bisa. Harus bisa!

Ruang Ungu Hatiku:
23:45Pm



11 Oktober 2011
Kasih Sayang Itu Menguatkan.

Ruh, malam ini aku menangis sekaligus tertawa. Sedih sekaligus bahagia.
Kesedihanku karena merasakan sakit ketika mendapatkan batu sandungan sebagai ujian untuk melangkah lebih jauh dalam hidupku. Terutama dalam dunia kepenulisan yang sudah menjadi bagaian dari duniaku.
Dituduh Plagiat/Copas tulisan orang. Sakit sekali rasanya. Aku tak butuh pujian atau kekaguman orang kepada tulisan yang ku buat, tapi aku juga tidak terima jika dituduh semena-mena. Sungguh!
Di tengah kesedihanku yang berusaha ku simpan sendiri dan ku jadikan bahan perenungan , datang sms dari orang-orang terdekatku. Mereka meminta penjelasan asal tuduhan dan memberikan suntikan semangat untukku. Sungguh-sungguh mengharukan. Sungguh nikmat Tuhan yang mana, yang engkau dustakan? Tuhan memberikan ujian sekaligus menunjukkan padaku bahwa masih ada orang-orang yang perhatian dan peduli padaku. Alhamdulillah…
Mamak pasti bisa mak. Kerikil kecil memang dtg kapan aja kan mak. Iki pembuktian kalau mamak bisa, mamak nggak salah, jadi ya enjoy aja mak.
Ya udahlah, bi. Tadinya mau saya labrak tuh. Mau saya bilang, "Jgn fitnah, bibiku! Jgn sok hebat, yah!" Hehe. Tapi gak jadi ah. Saya kan anak baik. Hahaha.
Hihi. Tenang aja, bi. Kalo ada yg jahatin bibi lagi, saya yg paling depan ngebela bibi. :9

Awalnya Kakak sudah baca kedua resensi tulisan dan membandingkan, secara ide awal ada perbedaan. Sudah dibilang juga sama (….) bahwa kutipan yang sama itu mungkin berasal dari sumber/testimoni yang sama. Apalagi dibatasi dengan kata yang harus ditulis.
Kesamaan dalam menulis sebuah tulisan mungkin saja terjadi, bahkan ini pernah terjadi. Memang secara struktur akan mengalami kesan/suasan yang berbeda walau idenya hampir mirip. Tapi kalau plagiat semua unsur hampir sama (ide awal dan suasana cerita/tulisan) ini sangat mudah sekali melacaknya dengan membandingkan dua tulisan dan mempersentasekan berapa persen kemiripannya.
Untuk kasus ini Kk tidak bisa menyimpulkan adalah sebuah plagiat, karena ada beberapa unsur lain yang harus diperhatikan. Dalam kasus ini, kemungkinan ada kemiripan dua tulisan sangat berpotensi terjadi karena harus meresensi dari buku yang sama.
Pengalaman Kakak sendiri juga pernah dicap plagiat, dan yang paling menyakitkan cerpen kakak itu dibatalkan sebagai Juara I secara sepihak oleh panitia, tanpa ada diberi ruang pembelaan sama sekali. Tapi ya sudahlah, walau menyakitkan kita dituduh atas hal yang tidak dilakukan, Adik percaya saja Allah Maha Mengetahui dan Mahaadil.
Ini adalah anak tangga "tantangan" yang harus Adik hadapi dan lalui untuk membesarkan nama Adik sebagai penulis. Jika dulu Kakak tidak bangkit dan memilih tenggelam dalam keputusasan karena dituduh plagiat, mungkin Adikku tak akan pernah kenal dengan
Kk.
Adikku sayang, Allah punya cara yang berbeda untuk menguji komitmen kita atas setiap pilihan yang ambil. Dari sekian hal yang menyamakan kita, ternyata juga mengalami hal yang sama seperti ini. Aneh... hehe...

Adik lanjut aja ikut lomba resensi itu, anggaplah ini gula-gula kehidupan yang "prematur" jadi rasanya sepat, qiqiqi...
Awas kalo samp
ai ada masalah dengan kesehatan Adik karena masalah ini.
Subhanallah… aku menangis bukan karena sakit hati lagi, tapi karena haru biru. Kasih sayang mereka yang tulus begitu menguatkanku. Trima kasih, Ya Tuhanku, atas semuanya…  telah Engkau hadirkan cinta karena-Mu. Meski dalam maya tapi semua rasa terasa nyata.

RUH, Malam



BBHB_Yully Riswati

18 September 2011
Tentang Kerinduanku Pada Ibuku

Ruh, hari ini aku menangis di depan teman-temanku.
 
Seperti biasanya,Ruh, tiap bulan di minggu pertama, forum mengadakan kegiatan rutin diskusi kepenulisan. Dalam diskusi itu kami mengulas buletin forum mulai dari cover, layout sampai isinya yang berupa tulisan-tulisan anggotanya.

Setelah bedah kisti, cerpen dan jurnal, kami sampai pada acara bedah puisi. Dan ternyata salah satunya adalah puisiku yang berjudul ‘Rindu Ibu’.
Oh, ya, Ruh… biasanya kami menyebut acara bedah tulisan dengan acara pembantaian tulisan. Karena saat tulisan kami diulas, maka kami seperti sedang dibantai. Mesti siap dengan kritikan pedas dan berbagai macam komentar yang tentunya relatif dari masing-masing komentator.

Sebelum dibedah, puisiku dibacakan oleh salah satu teman. Baru mendengar pembacaan puisiku, mataku sudah mendung. Meski temanku membacanya tidak serius (dengan diselingi senyum-senyum) tapi tetap saja ada haru kurasa. Dan begitu pula kulihat dirasakan beberapa temanku lainnya.

“Sepertinya aku pernah baca puisi ini dalam event lomba? Dimana ya? Menang nggak?” komentar pertama salah satu temanku.
“Iya, Puisi ini diikutkan dalam lomba puisi kerinduan pada Ibu khusus BMI-HK. Tapi karena mungkin belum sesuai dengan selera juri, jadinya nggak menang.” Aku masih bisa tertawa.
Selanjutnya komentar-komentar masih bisa kujawab dengan rasa biasa. Sampai pada pertanyaan Mbak Andina, senior sekaligus guru kami di forum.
“Sebenarnya saya suka puisi ini, bisa dipahami dan dimengerti maksudnya. Tapi saya kok jadi agak gimana gitu dengan pemilihan kata dikalimat terakhir. Tak ada yang lebih mawar dari luka rinduku padamu. Kenapa mesti pakai kalimat ini, Dek?”
“Saya ingin menyampaikan kalau rindu pada ibu melukaiku, Mbak.”
“Iya, saya mengerti tapi kenapa memakai kata ‘Mawar’? Mawar itu kan melambangkan keindahan? Kenapa ‘luka’?”
“Kan mawar berduri jadi luka, loh, Mbak” jawabku ngawur. Untuk menyembunyikan perasaanku yang mulai mengharu biru.
Akhirnya teman-temanku sahut menyahut komentar. Benar-benar diskusi yang hidup, masing masing mengartikan bait terakhir puisiku dengan versi mereka sendiri. Sampai akhirnya Mbak Dhieny bersuara, “Sudah teman-teman. Saya bisa memahami apa yang dimaksud Yuli dalam bait terakhirnya. Dan tidak ada yang salah dengan bait tersebut.”
Air mataku seketika tak tertahan lagi, Ruh. Aku menangis. (Dasarnya emang cengeng.)
“Mbak, yang saya maksud dengan bait terakhir puisi itu, hanya ingin menggambarkan dan menyampaikan perasaan tentang Ibu. Bagaimana kerinduan saya pada Ibu teramat indah layaknya mawar, tapi begitu menyakitkan bagi diri saya sendiri. Bahwa merindukan seseorang yang bahkan wajahnya saja tak pernah kita lihat, teramat menyakitkan.”
Semua diam. Berusaha menenangkanku. Tak menyangka bedah puisiku menjadi bedah hati juga. Mereka yang sebenarnya tak pernah tahu ceritaku tentang Ibuku, menjadi mengerti.

Ruuuuuuuhhh…. Aku rindu Ibu!
 
Rindu Ibu 
Oleh : Arista Devi

Ibu...
Meski wajahmu tak mampu kulukiskan
Bayangmu tak bisa kumusiumkan
Tetapi adamu tetap kukenangkan
Karena engkau perantara hadirku kedunia.

Ibu…
Bergetar hatiku ketika menyebut namamu
Satu kata mengandung beribu makna berjuta rasa
Satu kata berbalut semesta cinta
Kasih suci tiada mendua

Ibu…
Tak ada bait puisi untukmu
Tak ada cerita panjang tentangmu
Hanya ada setangkup doa
Dan senandung kerinduanku

Ibu….
Sungguh ingin kukatakan
Tak ada yang lebih mawar dari luka rinduku padamu.

(To Kwa Wan, 12/5/2011)
 
Ruang Ungu Hatiku
20:00Pm


Hari Jumat. Saat yang tepat untung memotong kuku. Namun rutinitas ini justru membuka kembali memori yang kusimpan sejak dua bulan lalu, saat aku harus kehilangan salah satu kuku kakiku.
Kala itu, karena terburu, jari kakiku kejedot pintu. Tidak sakit. Tapi sakiiiiiiit banget! Rupanya sang pintu mengerahkan segala tenaganya untuk menjepit kakiku walaupun hanya sepersekian detik. Benar saja, kulit di bawah kuku kakiku membiru.
Ya sudahlah, cuma hematom -perdarahan di bawah kulit- saja, batinku saat itu. Aku segera melanjutkan aktivitasku, melaju menuju Puskesmas Kertek II di kaki Gunung Sindoro.
Keesokan harinya, bertepatan dengan hari Ahad, teman-teman mengajakku ke Telaga Menjer, sebuah telaga nan eksotik bertaburkan pohon cemara di tepiannya, juga berlatar puncak Gunung Sindoro. Sesaat sebelum berangkat, teman sekamarku menyarankanku untuk memplester si jari biru. Biar nggak kejedot lagi, katanya. Tapi aku menolaknya seraya berkata bahwa diplester pun kalau kejedot lagi juga tetap sakit.
Dan.. "Aaaaaaaaarrrrghhhh", teriakku tatkala si jari biru benar-benar kejedot batu di tepian Telaga Menjer. Si jari biru pun semakin membiru. Setibanya di rumah, langsung kuoles dengan krim yang -seharusnya- mampu meluruhkan bekuan keping darah di bawah kulit jariku. Tapi rupanya si krim tidak mau membantuku. Suatu kali saat aku memotong kuku, kuku si jari biru terpotong terlalu pendek. Satu hal kusyukuri, tidak ada darah, hanya plasma yang membajir membuncah..
Beberapa hari kemudian, kuamati lagi si kuku yang tinggal sepertiga itu. Ternyata dia sudah berpisah dengan kulit tempatnya beradu, menganga membentuk rongga. Aku histeris. Teman-teman beramai-ramai menawarkan diri untuk mencabut kukuku.
"Sakit nggak? Keluar darahnya nggak?" tanyaku pilu. 
"Keluar darahnya sih, tapi sedikit kok. Kayanya sih sakit kalau biusnya habis," ujar temanku. Uuughh. Rasa ngilu menohokku. Memang praktik tak semudah bicara. Bila  selama ini aku sering menasihati pasien yang harus mengalami pembedahan kecil ataupun operasi untuk tidak perlu takut, bila hingga kini aku telah berkali-kali melihat operasi yang berdarah-darah, kini aku merasakan sendiri nyaliku menciut menghadapi pembedahan paling ringan : ekstraksi kuku, alias pencabutan kuku. Meskipun aku tahu sebelum kukuku dicabut akan dibius lokal dulu, tapi aku juga tahu betul bahwa penyuntikan di jari itu salah satu yang paling menyakitkan dibandingkan penyuntik an di tempat lain. Akhirnya dengan segenap keberanian dan kenekatan yang susah payah kukumpulkan, aku bertekad mencabutkan kukuku. Tibalah hari eksekusi. Dokter senior di Puskesmasku menyiapkan peralatan bedah minor. Aku memilih berbaring, tak tega melihat jarum suntik menembus kulit jariku. Aaaaaaaarrrgggh, memang benar-benar sakit! Dan aku harus menerima tiga suntikan di tempat berbeda demi menumpulkan rasa nyeriku. Hingga akhirnya aku memberanikan diri duduk dan melihat proses ekstraksi kuku yang rupanya sangat singkat. Sepertinya kukuku memang sudah mati sampai tak ada setitik darah  ;pun keluar. Alhamdulillaah,, aku bisa bernafas lega ^^


12 Oktober 2011
11.50 AM

Hari ini aku jalani hidupku dalam naungan rindu yang menggebu- gebu. Rindu pada keluarga, teman, dan tentunya rindu kepada orang yang hatinya telah kucuri beberapa waktu yang lalu. Tapi walau kini kujalani hubungan dengan orang yang telah aku cintai hanya lewat long distance, aku tak boleh berkecil hati. Toh, dari sinilah aku dan dia harus bisa bisa belajar lebih baik tentang kejujuran, kepercayaan serta saling pengertian.

Hanya doa yang kukalungkan untukmu
Lewat Tuhanku kutitipkan salam manisku
Berharap kelak agar aku juga dirimu
Berjumpa menggapai janji suci untuk menyatu

*Spesial to my love


1Pengalaman Pertamaku

2 Oktober 2011 kuberencana mengikuti seminar Prophetic Parenting di UMS (Universitas Muhammadiyah Surakarta). Sebelum berangkat ada telepon dari saudara yang ada di Bondowoso bahwa Bapak dari suami kakakku meninggal dunia. Suasana kalut tak terperi. Ingin rasa hati untuk membatalkan rencana ikut seminar di UMS. Tapi, tidak enak rasanya karena sudah ada janji sama teman kalau mau kesana. Kakak dan suaminya segera bersiap-siap untuk kesana. Aku dan adikku yang masih kelas satu SD tinggal di rumah. Kuhanya mampu untuk mengirimkan sebait doa untuk beliau, semoga beliau tenang di alam sana.
***
            Aku memutuskan berangkat ke seminar Propethic Parenting walau sudah terlambat. Janji adalah sebuah hutang, yang harus aku tepati. Kuberfikir lebih baik terlambat dari pada tidak hadir. Setelah selesai acara, aku putuskan untuk mengajak temanku untuk mampir ke book fair di Hypermart Assalam. Kubaca-baca schedule book fair, ternyata ada lomba puisi untuk dewasa. Hatiku tergerak untuk mengikuti lomba tersebut. Aku ingin mencoba sesuatu yang berbeda. Aku sadar diri seandainya aku jadi ikut lomba tersebut, itu adalah sebuah pengalaman baru. Aku harus berani, fikirku. Sebuah pengalaman adalah guru terbaik yang akan mengajarkan arti hidup yang sebenarnya. Aku mengajak temanku untuk mendaftarkan diri. Ternyata dia tidak mau. Aku beranikan diriku, untuk mendaftar sendiri
            Kubuka grup writing revolution puisi dan kumulai bertanya kepada kak Yoan si Pendekar Kata mengenai apa saja yang dinilai dari pembacaan puisi. Panjang lebar kak Yoan menjelaskan padaku. Dia berusaha meyakinkan aku, bahwa aku pasti bisa.
***
            3 Oktober 2011 tepat dimana lomba puisi dewasa akan diselenggarakan. Aku meyakinkan diriku untuk terus maju. Aku berusaha menasehati diriku.
“Sudah cukup, selama ini aku hanya jadi penonton yang hanya bisa berkomentar.”
Kulihat nomor undianku, tertulis 39.
            “Ya, sebentar lagi nomorku akan dipanggil. Aku harus yakin, aku bisa tampil di depan.”
            Aku menghela nafas. Ini adalah pengalaman pertamaku. Apapun yang terjadi aku harus siap menghadapi. Kubaru sadar, oh, seperti ini rasanya maju di depan dilihat orang banyak. Sebuah pengalaman pertama yang membuatku tersadar, memang mudah jadi penonton dan memang gak mudah jadi orang yang ditonton. Kuberusaha untuk tampil semaksimal yang kumampu.
            “Bismillah…”
            Setelah turun dari panggung, lega rasanya hatiku. Kubenar-benar baru merasakan bagaimana rasanya harus tampil di depan umum. Salah tingkah dan mati gaya. Luar biasa pengalaman ini.
            “Bagaimana penampilanku tadi, Dik?”
            “Bagus Mbak, walaupun ini penampilan Mbak yang pertama. Kelihatan enjoy. Tapi, maaf ya Mbak. Mbak tadi jedanya terlalu cepat.”
            Aku mengulum senyum. Biasanya aku yang berkomentar. Sekarang tiba saatnya aku yang harus dikomentari.
            “Terima kasih atas masukannya, Dik.”
            Pengalaman pertama sejuta rasanya. Penuh makna. Ada kepuasan tersendiri, setelah bisa menaklukkan virus yang yang namanya demam panggung.
***


Depok, Medio :  Saptu - Minggu , 01- 02  Oktober 2011
I LOVE YOU BATIK
           Minggu, 2 Oktober 2011 ditetapkan pemerintah sebagai Hari Batik Nasional. Pertanyaannya kenapa baru sekarang ? Seperti kebiasaan bangsa kita yang selalu tergagap dan tercabik harga dirinya setelah warisan budaya nenek moyang kita dicuri dan diklaim oleh negeri tetangga. Ya sudahlah, yang penting momen bersejarah ini dapat dijadikan tonggak kebangkitan, untuk lebih menaikkan pamor karya adiluhung bangsa tersebut di kancah internasional. 
           Kalau diperhatikan batik tidak bisa dipisahkan dalam sendi kehidupan bangsa Indonesia, khususnya Suku Jawa. Dari lahir sampai liang lahat  kita “ memakai” batik. Ketika bayi baru lahir, bayi dibedhong ( dibungkus) dengan menggunakan kain batik. Demikian pula ketika meninggal setelah jenazah dikafani, pasti ditutup dengan kain batik  sebelum dihantar ke pemakaman.
           Secara etimologi, kata "batik" berasal dari gabungan dua kata bahasa Jawa: "amba", yang bermakna "menulis" dan "titik" yang bermakna titik . Jadi batik merupakan sarana ekspresi diri nenek moyang kita dahulu, yang menggambarkan betapa adiluhungnya jiwa seni mereka dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia secara turun - temurun. Kini batik telah masuk dalam warisan budaya dunia yang dilindungi. Masuknya batik Indonesia dalam Daftar Representatif Budaya Tak Benda Warisan Manusia oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) diumumkan dalam siaran pers di portal UNESCO pada 30 September 2009. Batik menjadi bagian dari 76 seni dan tradisi dari 27 negara yang diakui UNESCO dalam daftar warisan budaya tak benda melalui keputusan komite 24 negara yang bersidang di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, pada tanggal 2-10-2009.
           Seni dan tradisi China dan Jepang mendominasi daftar warisan tak benda UNESCO. Terhitung sebanyak 21 warisan budaya China mulai dari teknik pemotongan kertas yang rumit yang diwariskan dari ibu ke anak perempuan, kerajinan dan pertanian ulat sutera di Provinsi Sichuan, dan penyembahan dewi laut Mazu. Banyak dari budaya minoritas China yang masuk dalam daftar warisan budaya UNESCO, dari opera Tibet atau seni dekorasi Regong, hingga ke puisi kepahlawanan masyarakat Kyrgiz di Xinjiang atau tradisi masyarakat Mongolia ritual nyanyian poliponic.
               Sementara itu, 13 warisan budaya Jepang diakui UNESCO sebagai warisan budaya tak benda. Banyak tarian dan prosesi rakyat, dari tari Akiu di utara Jepang hingga pertunjukkan seni terrua Jepang yang disebut Gagaku masuk dalam daftar tersebut.
             Mengapa hanya batik saja yang bisa lolos ? padahal di nusantara banyak warisan budaya yang tidak kalah eksotisnya dengan karya budaya bangsa lain. Kalau di China ada puisi kepahlawanan kita juga punya pantun yang tak kalah elok. Setiap daerah di negara kita juga mempunyai jenis tarian beragam yang begitu mengagumkan. Tari Saman dari Aceh, Tari Pendet dari Bali, Tari Serimpi dari Jawa Tengah serta ribuan tari lainnya yang menunjukkan bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dan penuh daya cipta tinggi.  
           Permasalahannya adalah kita tidak mampu menanamkan rasa kebanggaan dan kecintaan akan warisan nenek moyang kita terhadap generasi penerus. Dewasa ini mereka lebih suka mempelajari tari dari luar semacam hip hop, break dance atau salsa. Bahkan mereka lebih suka menerapkan gaya harajuku dibandingkan memakai batik. Parahnya mereka dengan bangganya jalan-jalan di pusat keramaian dengan jean belel yang sengaja dirobek bagian tertentu dengan pusar yang mengintip kemana-mana.
           Tugas kita sekarang ini adalah bagaimana menumbuhkan rasa cinta generasi muda terhadap warisan budaya negeri sendiri khususnya batik. Selama ini batik hanya dipakai untuk acara-acara formal sehingga dicap sebagai gaya berbusana yang nggak gaul. Pandangan tersebut harus dirubah dan menjadikan batik sebagai pakaian yang cocok untuk segala suasana, kesempatan dan kalangan.
           Mungkin ini merupakan pekerjaan khusus yang harus digarap oleh para desainer kita. Jadikanlah batik sebagai salah satu elemen dari karya rancangan mereka. Beruntunglah kita mempunyai beberapa desainer yang sudah lama menaruh perhatian pada batik. Diantaranya adalah Iwan Tirta. Berpuluh tahun beliau berkomitmen memperjuangkan dan menjaga batik dengan sepenuh jiwanya. Salah satu kutipan yang terkenal dari desainer yang mempunyai nama lahir “Nursjiwan Tirtaatmadjaja” adalah: “ Saya tidak melahirkan batik, tetapi saya akan terus mengasuh dan memelihara seperti yang ada. Seperti emban”. Satu sikap yang harus diteladani, akan ketulusan dan pengabdian beliau dalam menjaga batik agar tidak punah tergerus zaman. Salut Om, You are the best …
           Kita apresiasi upaya pemerintah dalam menjadikan batik sebagai ikon kebanggaan dan citra diri bangsa kita. Pada hari tertentu khususnya Jumat dibeberapa instansi pemerintah mewajibkan para stafnya untuk berseragam batik , juga disekolah sekarang sudah marak para siswa yang berseragam batik. Bapak SBY dan Ibu Negara dibeberapa kesempatan terlihat dengan bangga memakai batik, satu tauladan yang harus ditiru oleh kita sebagai rakyatnya.Intinya kita harus menghargai dan menjaga warisan budaya bangsa kita, jangan sampai diambil negara tetangga seperti kejadian menghebohkan waktu yang lalu.Jadikanlah batik sebagai busana gaul yang berseni dan bercita rasa tinggi. Kita harus yakin, batik tidak kalah dengan prada .Bersama kita bisa, lanjutkan…. Pokoknya, I Love You Batik …..  
******


Dear Diary,

Ada yang beda setelah Ayah pergi. Tujuh hari sudah dia meninggalkan aku dan Bunda. Kerabat dan tamu-tamu itu juga sudah tak terlihat lagi. Rumah ini kembali sepi. Sunyi dalam tungku hati-hati yang masih rapuh, meski tak ingin meratap. Kenangan tak pernah bisa hilang sampai kapanpun, siluet Ayah terus saja menggandeng kami dalam langkah-langkah ini. Kueja rasa yang berkecamuk dalam kalbu, selalu saja air mata menderai dengan manis.
 
Hari ini aku sangat merindukan Ayah. Pagi yang selalu kami isi dengan canda tawa, sesekali diskusi ringan beberapa topik di surat kabar dengan secangkir teh hangat yang sengaja dibuatkan Bunda sebagai teman kami di beranda. Sungguh, semua itu tak lagi bisa aku nikmati kini. Aku sendiri di beranda ini, saat ini dalam teman sepi yang memanjaku bersama lamunan.
 
Diary,
Kepergian Ayah menyerpihkan luka teramat dalam. Aku tersungkur dalam ketakberdayaan lalu luluh lantak bersama kepingan tak utuh. Ada banyak kata yang ingin kurangkai dalam kalimat seperti biasa, tapi aku selalu tak pernah mampu. Aksaraku seolah kelu, bisu. Mataku hanya mampu menatap layar monitor berjam-jam lamanya tanpa satu kata tercetus. Ayah, aku tak bisa menulis lagi.
 
Kulihat Bunda sangat sedih. Kutahu rasa kalbunya pasti jauh lebih tak berdaya dibanding aku. Berpisah dengan sang belahan jiwa untuk selamanya, bukan hal mudah. Namun kulihat Bunda tegar menghadapi semua cobaan ini. Tak pernah sekalipun Ia menampakkan kerapuhannya di hadapanku. Air matanya mungkin saja mengalir namun Bunda selalu tahu waktu terbaik dikala lafaz-lafaz doa dihadiahkannya untuk Ayah. Maafkan aku, Bunda.
 
 
Diary,
Kemarin Bunda dan saudara sepupuku menghampiriku di kamar. Selalu sama, aku masih berteman kesendirian dalam kebekuan yang kunikmati. Menonaktifkan sejenak diri dari segenap keramaian nyata pun maya. Aku lebih senang menikmati diriku bersama sepiku, seorang diri.
Mas Yayak menyodorkan sebuah bungkusan cantik, berwarna merah yang selalu kusuka. Perhatianku beralih, sesekali kulihat Bunda tersenyum ramah. Isyarat mereka membuatku memberanikan diri menyentuhnya lalu menarik perlahan tali pengikat dan membuka kotak cantik itu. Perlahan, mataku terpana. Sentuhan tangan halus Bunda di pundak menguatkanku untuk tak menderaikan air mata kembali.
 
Diary,
Tahu tidak, kado cantik itu dari Ayah. Ayah sengaja menghubungi Mas Yayak untuk membelikan aku dua benda berharga ini. Tanganku tergetar menggapainya.
Al Quran saku bersampul merah maroon dengan tinta emas yang tertulis di luarnya, membuat hatiku luluh. Subhanallah, Rabb aku tak bisa berkata. Kado paling istimewa kini kudekap. Aku pernah bercerita tentang hal ini pada Ayah. Aku menemukannya di Gramedia namun warna yang aku suka tak ada kala itu.
“Taman orang-orang yang memendam rindu dan jatuh cinta” , buku ini menjadi kado kedua yang kuterima dari Ayah. Entah kebetulan atau tidak, beberapa waktu yang lalu aku pernah memperbincangkannya bersama seorang sahabat. Subhanallah, Nikmat Engkau yang mana lagi yang aku dustakan. Ayah, terima kasih atas kado indah ini.
 
Diary,
Aku masih termangu dalam diam. Kecamuk fikir terus memanjaku dalam tanya tak menentu. Ayah, ulang tahunku masih tiga bulan lagi. 21 Januari, seharusnya tepat tanggal itu aku menerimanya. Sungguh, Allah mempunyai rencana yang lebih indah untukmu. Di detik-detik kepergianmu, masih saja kau mengingati hari bersejarahku. Tak peduli hari ini atau esok, kado ini sangat berarti untukku.
Aku tersenyum dalam belai Bunda dan jabat hangat Mas Yayak.  Al Quran dan buku ini, menjadi persaksian kebangkitanku. Aku tahu tak seharusnya terpuruk dan menyesali yang terjadi. Semua telah tertakdir dalam garis tangan yang harus kujlani. Lari dan bersembunyi bukan jalan terbaik. Aku yakin Ayah juga tak ingin melihat putri kecilnya yang manja tak lagi ceria seperti dulu.
 
Diary,
Semangat itu tak bisa hanya kita dapatkan dari orang lain. Semua harus aku temukan dalam diriku sendiri. Akulah yang lebih tahu apa dan bagaimana sebenarnya keadaanku. Maka aku jualah yang harus menemukan jalan untuk kembali tegak dan berdiri.
Demi senyum Ayah, demi ketegaran Bunda dan demi jiwaku ... Aku memulai lagi semuanya. Membuang jauh keangkuhan yang sengaja memasung produktivitasku. Jauh di dasar kalbu, aku tak pernah rela untuk berhenti menulis.
 
Perih, pedih selalu akan menemukan obat yang paling mujarab. Munajat cinta dalam rengkuh kasihNya yang utuh akan selalu memendarkan cahaya terindah untuk setiap jiwa. Tak ada yang harus aku sangkal lagi.
 
Diary,
Telah kutemukan diriku kembali. Kutemukan aku yang selama ini masih terpasung beku. Uji dan coba berhak mendera, air matapun tiada terlarang mengalir namun pena ini harus terus menari. Dalam imaji yang setia mengajakku berbagi, penaku akan terus melagu indah. Menerobos dinding dan sekat yang kokoh, melantunkan kidung rasa atas nama hati dan jiwa-jiwa yang indah.
 
Diary,
Tak usah memintaku kembali, sebab aku tak akan pernah menghentikan pena ini. Aku akan terus menulis ... lagi ... lagi dan lagi, hingga detik ini tak lagi berdetak. Untuk mereka, untuk hati-hati yang harus berbahasa, untuk jiwa-jiwa yang harus berkata, untuk mimpi-mimpi yang semestinya nyata, untuk hak-hak yang terampas, untuk kepedihan yang  harus terbaca, untuk rasa yang sejujurnya punya makna namun tak dipedulikan, untuk segenggam fatamorgana yang masih harus diterjemahkan.
 
Biarkan saja penaku menari
Kutemukan Aku