twitter



11 Oktober 2011
Kasih Sayang Itu Menguatkan.

Ruh, malam ini aku menangis sekaligus tertawa. Sedih sekaligus bahagia.
Kesedihanku karena merasakan sakit ketika mendapatkan batu sandungan sebagai ujian untuk melangkah lebih jauh dalam hidupku. Terutama dalam dunia kepenulisan yang sudah menjadi bagaian dari duniaku.
Dituduh Plagiat/Copas tulisan orang. Sakit sekali rasanya. Aku tak butuh pujian atau kekaguman orang kepada tulisan yang ku buat, tapi aku juga tidak terima jika dituduh semena-mena. Sungguh!
Di tengah kesedihanku yang berusaha ku simpan sendiri dan ku jadikan bahan perenungan , datang sms dari orang-orang terdekatku. Mereka meminta penjelasan asal tuduhan dan memberikan suntikan semangat untukku. Sungguh-sungguh mengharukan. Sungguh nikmat Tuhan yang mana, yang engkau dustakan? Tuhan memberikan ujian sekaligus menunjukkan padaku bahwa masih ada orang-orang yang perhatian dan peduli padaku. Alhamdulillah…
Mamak pasti bisa mak. Kerikil kecil memang dtg kapan aja kan mak. Iki pembuktian kalau mamak bisa, mamak nggak salah, jadi ya enjoy aja mak.
Ya udahlah, bi. Tadinya mau saya labrak tuh. Mau saya bilang, "Jgn fitnah, bibiku! Jgn sok hebat, yah!" Hehe. Tapi gak jadi ah. Saya kan anak baik. Hahaha.
Hihi. Tenang aja, bi. Kalo ada yg jahatin bibi lagi, saya yg paling depan ngebela bibi. :9

Awalnya Kakak sudah baca kedua resensi tulisan dan membandingkan, secara ide awal ada perbedaan. Sudah dibilang juga sama (….) bahwa kutipan yang sama itu mungkin berasal dari sumber/testimoni yang sama. Apalagi dibatasi dengan kata yang harus ditulis.
Kesamaan dalam menulis sebuah tulisan mungkin saja terjadi, bahkan ini pernah terjadi. Memang secara struktur akan mengalami kesan/suasan yang berbeda walau idenya hampir mirip. Tapi kalau plagiat semua unsur hampir sama (ide awal dan suasana cerita/tulisan) ini sangat mudah sekali melacaknya dengan membandingkan dua tulisan dan mempersentasekan berapa persen kemiripannya.
Untuk kasus ini Kk tidak bisa menyimpulkan adalah sebuah plagiat, karena ada beberapa unsur lain yang harus diperhatikan. Dalam kasus ini, kemungkinan ada kemiripan dua tulisan sangat berpotensi terjadi karena harus meresensi dari buku yang sama.
Pengalaman Kakak sendiri juga pernah dicap plagiat, dan yang paling menyakitkan cerpen kakak itu dibatalkan sebagai Juara I secara sepihak oleh panitia, tanpa ada diberi ruang pembelaan sama sekali. Tapi ya sudahlah, walau menyakitkan kita dituduh atas hal yang tidak dilakukan, Adik percaya saja Allah Maha Mengetahui dan Mahaadil.
Ini adalah anak tangga "tantangan" yang harus Adik hadapi dan lalui untuk membesarkan nama Adik sebagai penulis. Jika dulu Kakak tidak bangkit dan memilih tenggelam dalam keputusasan karena dituduh plagiat, mungkin Adikku tak akan pernah kenal dengan
Kk.
Adikku sayang, Allah punya cara yang berbeda untuk menguji komitmen kita atas setiap pilihan yang ambil. Dari sekian hal yang menyamakan kita, ternyata juga mengalami hal yang sama seperti ini. Aneh... hehe...

Adik lanjut aja ikut lomba resensi itu, anggaplah ini gula-gula kehidupan yang "prematur" jadi rasanya sepat, qiqiqi...
Awas kalo samp
ai ada masalah dengan kesehatan Adik karena masalah ini.
Subhanallah… aku menangis bukan karena sakit hati lagi, tapi karena haru biru. Kasih sayang mereka yang tulus begitu menguatkanku. Trima kasih, Ya Tuhanku, atas semuanya…  telah Engkau hadirkan cinta karena-Mu. Meski dalam maya tapi semua rasa terasa nyata.

RUH, Malam



BBHB_Yully Riswati

18 September 2011
Tentang Kerinduanku Pada Ibuku

Ruh, hari ini aku menangis di depan teman-temanku.
 
Seperti biasanya,Ruh, tiap bulan di minggu pertama, forum mengadakan kegiatan rutin diskusi kepenulisan. Dalam diskusi itu kami mengulas buletin forum mulai dari cover, layout sampai isinya yang berupa tulisan-tulisan anggotanya.

Setelah bedah kisti, cerpen dan jurnal, kami sampai pada acara bedah puisi. Dan ternyata salah satunya adalah puisiku yang berjudul ‘Rindu Ibu’.
Oh, ya, Ruh… biasanya kami menyebut acara bedah tulisan dengan acara pembantaian tulisan. Karena saat tulisan kami diulas, maka kami seperti sedang dibantai. Mesti siap dengan kritikan pedas dan berbagai macam komentar yang tentunya relatif dari masing-masing komentator.

Sebelum dibedah, puisiku dibacakan oleh salah satu teman. Baru mendengar pembacaan puisiku, mataku sudah mendung. Meski temanku membacanya tidak serius (dengan diselingi senyum-senyum) tapi tetap saja ada haru kurasa. Dan begitu pula kulihat dirasakan beberapa temanku lainnya.

“Sepertinya aku pernah baca puisi ini dalam event lomba? Dimana ya? Menang nggak?” komentar pertama salah satu temanku.
“Iya, Puisi ini diikutkan dalam lomba puisi kerinduan pada Ibu khusus BMI-HK. Tapi karena mungkin belum sesuai dengan selera juri, jadinya nggak menang.” Aku masih bisa tertawa.
Selanjutnya komentar-komentar masih bisa kujawab dengan rasa biasa. Sampai pada pertanyaan Mbak Andina, senior sekaligus guru kami di forum.
“Sebenarnya saya suka puisi ini, bisa dipahami dan dimengerti maksudnya. Tapi saya kok jadi agak gimana gitu dengan pemilihan kata dikalimat terakhir. Tak ada yang lebih mawar dari luka rinduku padamu. Kenapa mesti pakai kalimat ini, Dek?”
“Saya ingin menyampaikan kalau rindu pada ibu melukaiku, Mbak.”
“Iya, saya mengerti tapi kenapa memakai kata ‘Mawar’? Mawar itu kan melambangkan keindahan? Kenapa ‘luka’?”
“Kan mawar berduri jadi luka, loh, Mbak” jawabku ngawur. Untuk menyembunyikan perasaanku yang mulai mengharu biru.
Akhirnya teman-temanku sahut menyahut komentar. Benar-benar diskusi yang hidup, masing masing mengartikan bait terakhir puisiku dengan versi mereka sendiri. Sampai akhirnya Mbak Dhieny bersuara, “Sudah teman-teman. Saya bisa memahami apa yang dimaksud Yuli dalam bait terakhirnya. Dan tidak ada yang salah dengan bait tersebut.”
Air mataku seketika tak tertahan lagi, Ruh. Aku menangis. (Dasarnya emang cengeng.)
“Mbak, yang saya maksud dengan bait terakhir puisi itu, hanya ingin menggambarkan dan menyampaikan perasaan tentang Ibu. Bagaimana kerinduan saya pada Ibu teramat indah layaknya mawar, tapi begitu menyakitkan bagi diri saya sendiri. Bahwa merindukan seseorang yang bahkan wajahnya saja tak pernah kita lihat, teramat menyakitkan.”
Semua diam. Berusaha menenangkanku. Tak menyangka bedah puisiku menjadi bedah hati juga. Mereka yang sebenarnya tak pernah tahu ceritaku tentang Ibuku, menjadi mengerti.

Ruuuuuuuhhh…. Aku rindu Ibu!
 
Rindu Ibu 
Oleh : Arista Devi

Ibu...
Meski wajahmu tak mampu kulukiskan
Bayangmu tak bisa kumusiumkan
Tetapi adamu tetap kukenangkan
Karena engkau perantara hadirku kedunia.

Ibu…
Bergetar hatiku ketika menyebut namamu
Satu kata mengandung beribu makna berjuta rasa
Satu kata berbalut semesta cinta
Kasih suci tiada mendua

Ibu…
Tak ada bait puisi untukmu
Tak ada cerita panjang tentangmu
Hanya ada setangkup doa
Dan senandung kerinduanku

Ibu….
Sungguh ingin kukatakan
Tak ada yang lebih mawar dari luka rinduku padamu.

(To Kwa Wan, 12/5/2011)
 
Ruang Ungu Hatiku
20:00Pm