twitter


[Bukan Buku Harian Biasa] – Yulina Trihaningsih
Tangerang. Ahad, 4 Desember 2011 – Cerita Kehidupan
 
Sudah lama nggak posting BBHB. Hari ini, aku ingin sekali menulis kisah nyata tentang istimewanya kekuatan doa dan salat Dhuha dalam kehidupan sebuah keluarga yang aku kenal ^_^. Aku tuliskan sebagai catatan kecil pengingat diri ini ....
===========================================================
 
                Pak Anto dan Bu Ina adalah sepasang suami istri yang sedang berhajat ingin menjual rumah mereka. Alasan pertama, karena Pak Anto mendapat promosi untuk merintis satu cabang pabrik baru di lain propinsi. Alasan kedua, anak-anak mereka sudah tumbuh semakin besar, dan rumah mungil yang mereka tempati saat ini, terasa begitu sesak hingga tidak menyisakan tempat untuk bernapas. Akhirnya, bulatlah keputusan Pak Anto dan Bu Ina untuk menjual rumah mereka.
 
Tapi, urusan menjual rumah, tentulah tidak seperti menjual kacang rebus. Kota tempat tinggal mereka saat ini, adalah kota penyangga ibu kota negara. Mereka berharap sekali mendapatkan harga yang tinggi untuk rumah mungil mereka, agar dapat membeli rumah baru yang lebih besar dan luas di kota tetangga.
 
Hingga suatu pagi, keduanya menonton sebuah acara TV yang dipandu oleh seorang ustad muda. Ustad tersebut bercerita tentang kehidupannya di masa lalu yang terlilit banyak hutang, dan kemudian memutuskan menyerahkan segala urusannya itu kepada Allah saja. Dia lakukan salat Dhuha setiap hari, dan memutuskan untuk menginfakkan 100% royalti penjualan bukunya di saat sulit itu. Dan, subhanallah, betapa Allah kemudian menunjukkan kuasa-Nya, dengan memberikan ganti yang berlipat-lipat, dan menghapus semua hutangnya.
 
Pak Anto dan Bu Ina tercenung. Mereka merasakan juga betapa beratnya hidup mereka saat ini, karena mempunyai hutang kepada manusia (baca: bank). Apalagi, mereka juga mempunyai hajat untuk menjual rumah mungil mereka secepatnya.
 
Maka, Pak Anto dan Bu Ina pun mulai memperbaiki lagi salat Dhuha mereka. Yang tadinya hanya dua rakaat, sekali-kali saja. Sekarang menjadi enam rakaat, minimal, setiap harinya. Bu Ina berdoa sungguh-sungguh di setiap salatnya, hingga tidak terasa air matanya mengalir.
 
“Janganlah Engkau tahan rezeki kami, Ya Allah ....  Ampuni dosa-dosa kami, hapuslah hutang-hutang kami, dan mudahkanlah setiap hajat kami di dunia ini.”
 
Salat Dhuha mulai mereka langgengkan. Hingga kemudian, mereka mulai memikirkan apa yang bisa mereka infakkan 100% di saat ini. Untuk mengorek uang belanja, rasanya sulit dan tidak seberapa. Tiba-tiba Bu Ina ingat uang tabungannya di arisan RT yang masih berjalan. Rencananya kalau dapat, uang itu untuk membayar uang buku sekolah kedua anaknya yang sudah ditagih pihak sekolah, dan juga untuk menambal kebutuhan mereka sehari-hari.
 
“Yah, bagaimana kalau nanti dapat uang arisan, kita infakkan 100%?” usul Bu Ina. Pak Anto memandang istrinya, tersenyum.
 
“Wah, boleh, Bu. Berapa sekali dapat?”
 
“Dua juta kurang 50 ribu. Tapi, baru dua kali kocokan. Yang ikut 27 orang. Sekali kocok, yang dapat dua orang,” jelas Bu Ina, merasa tidak yakin.
 
“Yah, kita berdoa saja. Siapa tahu jodoh.” Pak Anto menyemangati istrinya.
 
Ketika awal bulan tiba, dan arisan akan dimulai, Bu Ina sempat merasa ragu. Ia merasa, seperti sedang menguji keyakinannya terhadap janji Allah. Merasa tidak yakin juga, pantaskah dirinya mendapatkan janji tersebut. Namun, dia pasrahkan saja semuanya kepada yang menggenggam jiwanya.
 
Ketika kocokan dikeluarkan, keluarlah dua gulungan kertas dari dalam gelas. Bu Budi, ketua arisan, meminta Bu Ina dan Bu Evi untuk membuka gulungan kertas itu.
 
“Bu Budi!” seru Bu Evi membaca nama yang ada di dalam gulungan kertas di tangannya. Ibu-ibu mulai ramai menggoda Bu Budi yang mendapat arisan. Gemetar tangan Bu Ina membuka gulungan kertasnya.
 
“Bu Rini ...” seru Bu Ina pelan.
 
“Wah, Bu Rini nggak hadir ini, bagaimana?” tanya Bu Budi.
 
“Tapi, kalau dia sudah bayar sih, kasih aja, Bu. Kasihan ...” Bu Ratna bersuara.
 
“Hm ..., begitu, ya? Tapi, bulan lalu namanya juga keluar, dan dia menolak dapat di awal. Coba saya tanyakan dulu, ya ...” inisiatif Bu Budi.
 
Sementara itu, pelan-pelan Bu Ina mencoba berkompromi dengan perasaannya. Ada sedikit rasa kecewa di sana. Dia tersenyum, mencoba melapangkan hatinya.
 
“Ibu-ibu ...,  Bu Rini minta namanya dimasukkan lagi. Jadi, kita kocok satu lagi ya, Bu ...” Bu Budi melaporkan setelah menelpon Bu Rini.
 
Ibu-ibu tertawa dan mulai kembali berharap. Satu gulungan kertas keluar lagi dari gelas kocokan. Bu Budi kembali menyerahkan gulungan itu kepada Bu Ina.
 
Perlahan Bu Ina membuka gulungan itu dan membaca nama di sana. Sebelum berbicara, dihadapkannya kertas itu ke arah ibu-ibu agar semua dapat melihat dan ikut membacanya.
 
“Wah ..., Bu Ina ...!” seru ibu-ibu sambil tertawa. Sementara Bu Ina hanya bisa tersenyum sambil berusaha meredakan gemuruh yang ada di dadanya. Rasanya ingin menangis. Menyadari, dia sempat meragukan janji Tuhannya. Entah bagaimana dia bisa menjelaskan semua peristiwa yang baru saja dia alami. Tapi, yang pasti, sejak saat itu dia bertekad untuk tidak meninggalkan salat Dhuha, dan tidak akan pernah lagi meragukan janji sang penguasa langit dan bumi.
 
*Dan cerita ini masih berlanjut ... ^_^