twitter


Dear Diary,

Ada yang beda setelah Ayah pergi. Tujuh hari sudah dia meninggalkan aku dan Bunda. Kerabat dan tamu-tamu itu juga sudah tak terlihat lagi. Rumah ini kembali sepi. Sunyi dalam tungku hati-hati yang masih rapuh, meski tak ingin meratap. Kenangan tak pernah bisa hilang sampai kapanpun, siluet Ayah terus saja menggandeng kami dalam langkah-langkah ini. Kueja rasa yang berkecamuk dalam kalbu, selalu saja air mata menderai dengan manis.
 
Hari ini aku sangat merindukan Ayah. Pagi yang selalu kami isi dengan canda tawa, sesekali diskusi ringan beberapa topik di surat kabar dengan secangkir teh hangat yang sengaja dibuatkan Bunda sebagai teman kami di beranda. Sungguh, semua itu tak lagi bisa aku nikmati kini. Aku sendiri di beranda ini, saat ini dalam teman sepi yang memanjaku bersama lamunan.
 
Diary,
Kepergian Ayah menyerpihkan luka teramat dalam. Aku tersungkur dalam ketakberdayaan lalu luluh lantak bersama kepingan tak utuh. Ada banyak kata yang ingin kurangkai dalam kalimat seperti biasa, tapi aku selalu tak pernah mampu. Aksaraku seolah kelu, bisu. Mataku hanya mampu menatap layar monitor berjam-jam lamanya tanpa satu kata tercetus. Ayah, aku tak bisa menulis lagi.
 
Kulihat Bunda sangat sedih. Kutahu rasa kalbunya pasti jauh lebih tak berdaya dibanding aku. Berpisah dengan sang belahan jiwa untuk selamanya, bukan hal mudah. Namun kulihat Bunda tegar menghadapi semua cobaan ini. Tak pernah sekalipun Ia menampakkan kerapuhannya di hadapanku. Air matanya mungkin saja mengalir namun Bunda selalu tahu waktu terbaik dikala lafaz-lafaz doa dihadiahkannya untuk Ayah. Maafkan aku, Bunda.
 
 
Diary,
Kemarin Bunda dan saudara sepupuku menghampiriku di kamar. Selalu sama, aku masih berteman kesendirian dalam kebekuan yang kunikmati. Menonaktifkan sejenak diri dari segenap keramaian nyata pun maya. Aku lebih senang menikmati diriku bersama sepiku, seorang diri.
Mas Yayak menyodorkan sebuah bungkusan cantik, berwarna merah yang selalu kusuka. Perhatianku beralih, sesekali kulihat Bunda tersenyum ramah. Isyarat mereka membuatku memberanikan diri menyentuhnya lalu menarik perlahan tali pengikat dan membuka kotak cantik itu. Perlahan, mataku terpana. Sentuhan tangan halus Bunda di pundak menguatkanku untuk tak menderaikan air mata kembali.
 
Diary,
Tahu tidak, kado cantik itu dari Ayah. Ayah sengaja menghubungi Mas Yayak untuk membelikan aku dua benda berharga ini. Tanganku tergetar menggapainya.
Al Quran saku bersampul merah maroon dengan tinta emas yang tertulis di luarnya, membuat hatiku luluh. Subhanallah, Rabb aku tak bisa berkata. Kado paling istimewa kini kudekap. Aku pernah bercerita tentang hal ini pada Ayah. Aku menemukannya di Gramedia namun warna yang aku suka tak ada kala itu.
“Taman orang-orang yang memendam rindu dan jatuh cinta” , buku ini menjadi kado kedua yang kuterima dari Ayah. Entah kebetulan atau tidak, beberapa waktu yang lalu aku pernah memperbincangkannya bersama seorang sahabat. Subhanallah, Nikmat Engkau yang mana lagi yang aku dustakan. Ayah, terima kasih atas kado indah ini.
 
Diary,
Aku masih termangu dalam diam. Kecamuk fikir terus memanjaku dalam tanya tak menentu. Ayah, ulang tahunku masih tiga bulan lagi. 21 Januari, seharusnya tepat tanggal itu aku menerimanya. Sungguh, Allah mempunyai rencana yang lebih indah untukmu. Di detik-detik kepergianmu, masih saja kau mengingati hari bersejarahku. Tak peduli hari ini atau esok, kado ini sangat berarti untukku.
Aku tersenyum dalam belai Bunda dan jabat hangat Mas Yayak.  Al Quran dan buku ini, menjadi persaksian kebangkitanku. Aku tahu tak seharusnya terpuruk dan menyesali yang terjadi. Semua telah tertakdir dalam garis tangan yang harus kujlani. Lari dan bersembunyi bukan jalan terbaik. Aku yakin Ayah juga tak ingin melihat putri kecilnya yang manja tak lagi ceria seperti dulu.
 
Diary,
Semangat itu tak bisa hanya kita dapatkan dari orang lain. Semua harus aku temukan dalam diriku sendiri. Akulah yang lebih tahu apa dan bagaimana sebenarnya keadaanku. Maka aku jualah yang harus menemukan jalan untuk kembali tegak dan berdiri.
Demi senyum Ayah, demi ketegaran Bunda dan demi jiwaku ... Aku memulai lagi semuanya. Membuang jauh keangkuhan yang sengaja memasung produktivitasku. Jauh di dasar kalbu, aku tak pernah rela untuk berhenti menulis.
 
Perih, pedih selalu akan menemukan obat yang paling mujarab. Munajat cinta dalam rengkuh kasihNya yang utuh akan selalu memendarkan cahaya terindah untuk setiap jiwa. Tak ada yang harus aku sangkal lagi.
 
Diary,
Telah kutemukan diriku kembali. Kutemukan aku yang selama ini masih terpasung beku. Uji dan coba berhak mendera, air matapun tiada terlarang mengalir namun pena ini harus terus menari. Dalam imaji yang setia mengajakku berbagi, penaku akan terus melagu indah. Menerobos dinding dan sekat yang kokoh, melantunkan kidung rasa atas nama hati dan jiwa-jiwa yang indah.
 
Diary,
Tak usah memintaku kembali, sebab aku tak akan pernah menghentikan pena ini. Aku akan terus menulis ... lagi ... lagi dan lagi, hingga detik ini tak lagi berdetak. Untuk mereka, untuk hati-hati yang harus berbahasa, untuk jiwa-jiwa yang harus berkata, untuk mimpi-mimpi yang semestinya nyata, untuk hak-hak yang terampas, untuk kepedihan yang  harus terbaca, untuk rasa yang sejujurnya punya makna namun tak dipedulikan, untuk segenggam fatamorgana yang masih harus diterjemahkan.
 
Biarkan saja penaku menari
Kutemukan Aku