twitter


Menulis Sajak untuk Dibuang
Nurshanadi


Beberapa waktu lalau saya ngeyel untuk meminta sebuah endorsement kepada seorang penyair yang saya kagumi karyanya – yang mana saya sedang getol mengumpulkan buku-buku puisi yang dia terbitkan. Awalnya saya nekat meminta kata pengantar untuk calon buku puisi yang akan saya terbitkan itu kepadanya karena rencananya buku itu akan saya terbitkan secara indie.

Tapi ternyata saya kesengsem untuk menerbitkan secara mayor saja karena menurut saya tema yang saya angkat dalam buku puisi itu cocok. Tetapi ternyata prosesnya tak semudah itu. Saya harus meminta pengantar atau endorsement dari orang-orang yang kira-kira dapat membantu karya saya itu bisa terbit secara mayor label.

Setelah tahu prosesnya semacam itu – dan penyair yang saya minta beberapa patah kata darinya tadi tetap mengelak untuk memberikan kata pengantar – akhirnya saya membujuknya untuk membuatkan sebuah endorsement saja untuk calon buku puisi saya. Saya mention tiga kali di twitter dalam kurun tiga minggu, dan akhirnya dibalaslah mention saya tadi dengan satu kalimat yang cukup menggembirakan, kirim saja karyanya ke email bla bla bla dot com. Ok, langsung saya kirim draf buku puisi saya itu kepadanya.

Satu hari kemudian saya dapatkan jawabannya melalui email saya. Dan jawabannya mengejutkan sekali. Berikut saya kutip jawaban dari penyair tersebut.

Saran saya: jangan diterbitkan! Tardji membuang sajak-sajak awalnya. Afrizal malna membakarnya. Chairil juga memusnahkan sajak-sajak awalnya. Sapardi menyimpannya saja tanpa pernah menyiarkan.
Saya kira sajak-sajak yg anda kirim ini adalah sajak yg harus anda buang. Anda sudah menulis puisi. Tapi, anda belum menemukan puisi Anda.  Ayolah, jangan buru-buru. Nikmati prosesnya. Jokpin menerbitkan buku 20 tahun setelah ia mulai menulis.

Ya, saya disuruh membuang dan melupakan bahwa saya pernah menulisnya. Tapi entahlah, saya tidak tahu suasana hatinya ketika membalas email saya itu. Sebelumnya saya melihat penyair ini membuat postingan di twitter yang kira-kira berbunyi dia sedang ingin melupakan sajak-sajak yang pernah ditulisnya. So, dia memberikan imbasnya kepada saya. Tapi semoga saja tidak.

Seperti saya katakan di atas, tadinya memang saya ingin menerbitkan calon buku saya ini secara indie karena saya sendiri menilai bahwa puisi-puisi dalam draf buku itu hanyalah puisi sampingan yang saya tulis, bukan pakem puisi yang selama ini saya tulis. Jenisnya pun beragam, mulai dari yang panjangnya dua halaman, hingga yang hanya dua baris saja, mulai dari ‘mengatai’ pemerintah sampai simpati kepada anak jalanan di perempatan Bagindo Azis Chan. Saya jadi ingat perkataan seorang founder grup menulis di FB yang mengatakan ini bukan puisi kamu ketika saya memamerkan puisi gubahan dari Sepi Saupi-nya Sutardji.

Puisi-puisi saya itu sedianya akan saya desain sendiri sampulnya, saya susun sendiri layout-nya, lalu akan saya terbitkan secara indie, entah itu nantinya berbayar atau dapat gratisan. Bahkan saya sudah meminta seorang adik saya untuk membuat ilustrasi gambar untuk dimasukkan ke dalam buku itu.

Nyatanya, saya malah disuruh membuangnya, membakarnya, melupakannya, seperti yang Tardji, Sapardi, dan Afrizal lakukan pada sajak-sajaknya. Dan saya pikir itu memang sebuah komentar yang keluar dari seorang penulis (baca: penyair), atau setidaknya komentar yang keluar dari seorang yang mengerti dan paham dunia kepenulisan. Tidak sekedar memuji wah bagus ya! Atau sekadar puisi kamu menyayat hatiku. Tidak, tidak hanya itu.

Dia pun sanggup bilang bahwa saya tak punya benang merah di buku puisi itu, bahkan dia bilang itu semua bukan puisi saya. Padahal belum sebaris pun dia menikmati puisi saya yang lain sebelum akhirnya saya sodorkan (dengan nekat) draf buku saya itu

Tapi saya tidak setega itu kepada puisi-puisi saya. Saya memang telah ‘mengacuhkan’ puisi-puisi yang saya tulis sepanjang empat tahun lalu (2006-2009), saya jarang membacanya lagi karena seperti membaca diary. Yah, puisi saya dulu masih mirip puisi anak ABG yang baru saja jatuh cinta. Meskipun bibit-bibit dari ke-ndableg-an saya sudah ada. Misalnya pada sajak kecil ini,

Lara Kelam


Bunga layu
Daun berguguran
Ranting patah
Hujan terhenti
Mendung bergulung
Kilat menyambar
Petir menggelegar
Angin berdesau
Mentari tenggelam
Malam mencekat
Langit kelam
Bintang enggan
Bulan muram
Bara padam
Dian temaram
Mata terpejam
Hati terpendam
Kalbu mencekam
Sukma mengerang
Siksa meradang
 ***

Puisi itu saya tulis pertengahan tahun 2006 dan menjadi satu-satunya puisi ‘aneh’ yang saya tulis sepanjang tahun itu. Selebihnya hanyalah curhatan seorang cowok yang lagi galau. Hah, kenapa bicara galau. Sudahlah!

Maka, saya putuskan untuk mengirimkan draf puisi itu kepada beberapa teman saya saja dan saya akan berusaha melupakan bahwa saya pernah ada usaha untuk menerbitkannya. Biarlah dia nyaman di pelukan teman-teman saya itu. Tapi masalahnya, apakah teman-teman saya itu bersedia jadi tong sampah buat karya saya itu? Hmm…


Untung semalam – sebelum saya membuka email dan menemukan jawaban pasti itu – saya sudah mendapat sebuah wejangan tentang ‘P’ oleh kakak saya. Jadi, yang saya lakukan hanyalah menggunakan ‘P’ yang telah dia berikan itu. Ya, saya barus lebih ber-’P’ lagi. Apa itu? Be Patient, katanya.

Yah, bola sudah bergulir, dan ditendang lagi. Ke arah gawangkah? Entahlah, saya tidak tahu. Saya hanya akan tetap menulis puisi saja. Terima kasih sudah membaca.

Salam