twitter


CELOTEH HUJAN

          Saat gerimis menyapa manis …

            Pelangi  12 September menyentuhku dengan mesra, menyeret raga dalam setumpuk aktifitas yang bertaburan. Membentuk siluet indah di sepanjang senin yang super sibuk. Mau tak mau aku harus lantang berkata pada diri “I Like Monday”.

            Beberapa nasabah mulai datang silih berganti, dalam bingkai yang tak serupa. Sifat dan sikappun tak sama namun sebagai pelayan masyarakat aku dan semua teman harus senantiasa memberikan pelayanan terbaik untuk kegiatan perbankan mereka. Tak membeda tak juga pilih kasih. Dengan senyum yang tak boleh lepas di sepanjang waktu. Sungguh, hari ini aku merasa waktu berjalan dengan sangat lambat. Bahkan jam dua belas siang yang dinanti tak juga hadir  padahal perut sudah mulai bernyanyi tak karuan.  Bekerja saja dengan hati, sebuah nasehat yang pernah aku dapatkan dari seorang sahabat maya. Seberat dan sebanyak apapun pekerjaan yang ditangani jika melakukannya dengan hati maka semua akan terasa mudah.

            Hari ini gerimis mengguyur kotaku. Sebuah oase setelah gersang sempat melanda tanah kami di sepanjang ramadhan kemarin. Gerimis, aku selalu suka. Menengadahkan tangan merasakan titik hujan yang dingin menyentuh kulit dengan sangat lembut, ah sungguh tak dapat terkatakan dalam bahasa. Indah, hanya itu.
            Gerimis yang jatuh perlahan mulai beranjak menjadi butiran-butiran besar dengan jumlah air yang tak sedikit. Ya, hujan datang. Kuperhatikan dari balik jendela, di luar sana ada banyak anak kecil yang bersenda gurau sambil sesekali memainkan bola yang ada di kaki-kaki mereka. Bersorak seolah tak ada rasa dingin sedikitpun. Senyumku terkembang, mengingat masa kecil yang sama. Irama dalam denting hujan yang turun selalu membuat lagu hati berkumandang dengan syahdu.
            Sentuhan seorang sahabat mengejutkanku. Segera kulirik angka di jam tangan. What ? Sudah jam 5 lebih. Titik-titik air mulai berganti menjadi gerimis kembali. Segera aku dan semua karyawan yang ada di kantor ini beranjak menyongsong senja. Memacu laju kendaraan masing-masing dengan kecepatan yang tak biasa demi tak menjumpai hujan di tengah perjalanan. Maklum saja, sebagian dari kami bahkan lupa untuk membawa jas hujan sebagai pelindung.

            Sayang, rencana manusia tak selalu sama dengan nyata yang terpatri. Sebelum sampai di rumah, akupun harus terjebak hujan yang tiba-tiba datang dengan sangat deras. Memaksaku untuk berteduh di salah satu sudut kota dan membiarkan kendaranku bercumbu sejenak dengan manisnya sang hujan.
            Kulihat ada beberapa orang yang juga senasib denganku.
            “Mbak, silahkan duduk” ucap seorang perempuan paruh baya
            Perempuan itu akhirnya kukenal bernama Bik Minah, seorang penjual es degan. Perempuan ini sangat ramah, menyapaku dengan sangat akrab seakan kami telah kenal lama. Dengan berbagai pertanyaan basa basi, akupun akhirnya tahu kalau dia sudah lama berjualan es degan di tempat itu.
            “Banyak yang beli Bik seharian ini ?”
            “Aduh, Neng. Hari ini sepi sekali. Apalagi dari tadi siang hujan terus. Mana ada yang mau membeli es. Baru laku satu gelas dari pagi, Neng
            Deg, hatiku tersentak. Satu gelas es degan harganya tiga ribu rupiah. Berarti hingga senja ini dia hanya mengantongi uang sebesar itu. Lalu bagaimana cukup untuk makan. Aku termangu dalam lamunan.
            Senja kurasakan kian dingin membelai raga.
            “Loh, Neng. Kenapa menangis ?”
            “Ah, nggak kok. Cuma kelilipan ajah” seraya kuusap titik air yang tak dapat kutahan, mengalir begitu saja.
            Aku memang sangat cengeng. Tak mampu menahan gemuruh dalam hati.
            “Aku pesan es degannya satu ya, Bik. Hujan juga sepertinya masih agak lama reda”
            Kulihat dia sangat sumringah. Cekatan tangannya meracik lalu menyodorkannya padaku. Es degan yang tak biasa, begitu ucapku dalam hati. Udara semakin dingin, tubuhkupun sedikit menggigil tapi minuman ini hangat menjalar di seluruh nadi. Bukan karena es-nya, bukan juga karena degannya tapi karena Bik Minah menghadirkan cinta dan ketulusan di dalamnya.
            “Bik Minah pasti nggak suka dengan hujan ya ?” celotehku tiba-tiba
            “Kenapa, Neng ?”
            “Ya, kan pelanggannya jadi berkurang”
            “Rejeki itu nggak akan kemana kok, Neng. Semua sudah diatur oleh Allah. Dan saya selalu merasa cukup dengan apa yang diberi. Pokoknya harus bisa bersyukur, Neng”

            Sedu terakhir dari segelas es degan, kutemukan makna sebuah kehidupan. Ah, hujan masih juga tak reda sementara kumandang adzan maghrib telah bergema. Tak ada pilihan bagiku selain menerobos derasnya hujan demi segera sampai di rumah.
            “Yakin Neng mau pulang berhujan-hujan begitu ?”
            “Insyaallah”
            Segera laju kendaraanku bergerak. Titik hujan menyusup ke dalam kulit, menyentuh nadi dengan cepat lalu rebah di dalam aliran darahku. Namun aku merasakannya hangat, sehangat senyum Bik Minah yang masih sempat aku bingkai di sepanjang jalan kota. Kunikmati satu persatu belaian air hujan yang lembut di kulitku.

            Rabb, terima kasih atas anugerah ini
            Aku pernah kehilangan jingganya senja ketika malaikat-malaikat kecil penghuni simpang lampu merah itu tak berjejak. Tapi kini, Allah memberiku satu lagi tempat menautkan senja. Sebuah tempat pembelajaran hidup yang sebenarnya.

            Hujan,
Mengejamu dalam celoteh senjaku adalah hal indah yang kumiliki hari ini

Bkl, 12 September 2011
Diary sang penikmat hujan dan pecandu senja

0 Coment:

Posting Komentar