twitter


Melukis Suara Hati
Ahad, 11 September 2011
Bismillah…

                Kita main tebak-tebakan yuk :) , Apakah aku… panjang, banyak pintu dan jendelanya… bunyinya tut… tut… tut… hayo apaan? Yup, kereta api. Gampang amat ya tebakannya. Ya udah, nggak apa-apa. Hari ini aku ingin cerita tentang perjalananku dari Bogor ke Jakarta. Tentu saja naik kereta api.

                Kurasa tak semua orang pernah menaiki kereta api, sebagain besar orang sumatera yang nggak pernah kepulau jawa mungkin belum pernah merasakan naik kereta api. Wah, ampun dah… kalau nggak kebagian tempat duduk merana jadinya. Coba saja bayangkan perjalanan sekitar satu setengah jam, harus berdiri. Tidaaak. Yah kalo kamu punya fisik yang kuat sih kagak ape-ape. Kalau aku? Hmm… nanti kuberitau mengapa aku nggak sanggup berdiri lama.

                Naik berdesak-desakan, mungkin karena hari libur jadi penumpang membludak. Aku nggak tau awal mulanya bagaimana, tapi ibu muda yang berdiri tak jauh dari tempatku berdiri cekcok dengan seorang Bapak yang duduk nyaman di kursinya. Aku mengerti sekarang ibu muda itu menyarankan kepada si bapak untuk memberikan tempat duduknya kepada ibu yang menggendong bayinya. Tapi cara ibu muda menyampaikan niat baiknya agaknya sedikit salah. Sedangkan si bapak nggak peka terhadap kondisi yang ada sementara si ibu yang menggendong bayi tak langsung minta tolong tapi menyindir secara tidak langsung si bapak. Perang mulut tak terhindarkan. Sementara beberapa waktu kemudian semua orang yang menonton pertengkaran mulut itu berteriak, “huuuu… turun… turun….”

                Aku tak ingin ikut campur dengan permasalahan mereka. Hanya bisa menonton saja. Lalu seorang ibu berkerudung merah jambu yang berdiri di depanku berkata pada anaknya yang mungkin berusia 9 tahun.

                “Tuh Nak, lihat… nanti kalau abang udah gede jangan begitu ya…! Kalau ada ibu-ibu membawa balita, lansia, atau yang  lebih membutuhkan tempat duduk dikasih ya Nak… kasihankan.” Ujar sang ibu sambil menatap anaknya penuh cinta. Sementara sang anak mengangguk tanda mengerti lalu tersenyum pada ibunya dan memeluk ibunya erat. Sedangkan aku hanya bias bergumam dalam hati. “Subhanallah ibu ini. “ Kulihat anaknya anak yang baik… sebab sang ibu selalu memberikan teladan dan pengertian. Ibu yang patut dicontoh.

                Perjalanan kali ini benar-benar menguras energi. Bolak balik mengitari toko-toko elektronik. Dari perjalanan di kereta rasanya kakiku udah mau lepas, belum lagi perjalanan pulang. Berharap dapat kursi untuk duduk. Yup… dengan sedikit usaha berjalan lebih cepat dari gerbong ke gerbong kami pun dapat tempat untuk melepas lelah. Kali ini aku harus egois, sakit menahan nyeri di kedua kakiku yang kedua-duanya pernah mengalami patah tulang. Kurasa aku harus tidur. Kupejamkan mataku, berharap hari ini aku tak harus mengalah tempat duduk dengan orang lain. Entah berapa lama aku tertidur. Saat aku buka mataku kulihat temanku sudah berdiri. Rupanya dia memberikan kursinya untuk ibu-ibu yang tadinya mungkin berdiri di depannya. Kusapu pandanganku ke arah sekitar, Alhamdulillah tak ada yang lebih membutuhkan kursi lagi. Mereka semua masih muda dan sehat bugar. Kembali kupejamkan mataku. Entah berapa lama aku tertidur. Untuk kedua kalinya saat kubuka mataku. Pertama kali yang terlihat adalah seorang nenek yang berdiri tepat di depanku. Sorot matanya itu berbicara. Aku mengerti maksudnya, mungkin kira-kira begini, “Mau kah Nak berbagi tempat duduk?”
                Ah, aku tak setega si Bapak yang tadi, bahkan nenek itu tampak lebih tua dari nenekku di kampung. Dengan cepat aku berkata, “Mau duduk Buk? Silahkan.” Senyumku mengembang, walau agak terpaksa. Dengan sigap sang nenek menggantikan posisiku di kursi itu. Wah, aku saja tak sanggup berdiri. Bayangkan, kakiku tak dapat lagi digerakkan sangking padatnya penumpang. Aku harus bertumpu pada pegangan, yang membuat tangganku pegal nggak karuan. Nyeri di kakiku bertambah-tambah… ah, harus bertahan.

Hikmah hari ini:
Kalau nak selamat banyak-banyak sabar… Hehehe….

0 Coment:

Posting Komentar