Antara Impian dan Trauma
Sebagai seseorang yang baru belajar dan menekuni dunia kepenulisan, buku pasti menjadi pedoman paling penting untuk mengembangkan kemampuan dalam menulis. Sebab dengan membaca, banyak pengetahuan baru yang didapat dan bisa kita urai menjadi bait-bait tulisan. Dengan membaca pula kita dapat mengetahui banyak hal tentang ketentuan-ketentuan dalam menulis. Maka dari itu, aku pun mulai mencoba menyisihkan uangku setiap bulannya untuk membeli buku demi menambah koleksi buku yang masih sangat minim kumiliki.
Jujur saja, terkadang aku iri dengan teman-teman penulis lainnya yang telah menyukai dunia kepenulisan sejak kecil, sedangkan aku? Hobi baca saja baru kutekuni kembali pada awal 2011 meski ketika menduduki bangku SD aku sangat menyukainya, namun sayangnya aku sempat meninggalkannya. Menyesal? Tentu. Namun di usiaku sekarang aku tak mau menyia-nyiakannya lagi. Aku ingin benar-benar mencintai dunia baca dan tulis dan tak ingin melepaskannya dalam lingkaran kehidupanku hingga batas yang ditentukanNya.
Aku juga iri melihat teman yang berfoto ria dengan narsisnya bersama koleksi buku-buku mereka yang cukup banyak. Menatanya dengan sangat rapi dalam lemari kaca. Membuat perpustakaan pribadi di rumah mereka. Aku ingin mengikuti jejak mereka, maka karena keirianku itulah muncul ide gilaku untuk rutin membeli buku setiap bulannya. Bahkan aku juga sangat rajin mengikuti kuis-kuis berhadiah buku, hanya untuk menambah koleksi perpustaan pribadiku. Berharap suatu saat perpustakaan pribadiku menjadi perpustaan umum yang dapat dipinjam oleh siapapun. Bukankah berbagi ilmu lewat tulisan ataupun buku adalah hal yang mulia dan patut dibudayakan. Apa salahnya bila kucoba sejak sekarang. Alhamdulillah Allah kasih jala buatku untuk mewujudkan impianku. “Setiap niat baik pasti ada kemudahan” dan itu nyata kualami sebab aku sering memenangkan kuis. Meski memenangkan lomba belum pernah, namun tak mengapalah ^_^. Hidup adalah proses dan saat ini adalah proses pembelajaran bagiku dalam segala aspek.
Namun baru saja niat itu memenuhi relung hatiku. Ada sesuatu yang agaknya mencoba mengubur niatku tersebut. Seorang sahabat yang tergabung dalam “Sembilan Keping Hati” telah mengecewakanku. Sebuah buku kumpulan novelete yang baru saja kubeli dan belum sempat kukhatamkan seluruhnya dipinjam dan belum dikembalikan hingga kini. Hampir tiga bulan lamanya buku itu berada di tangannya namun belum jua ia kembalikan.
Pada kesempatan yang ada aku pernah bertanya padanya
“Sri, bukuku udah selesai kamu baca? Dibawa nggak?”
“Oh udah selesai sih, tapi nggak kubawa, kamu sih nggak mau mengingatkanku lewat sms.”
Satu kali alasannya bisa kuterima. Beberapa waktu kemudian ketika bertemu di kampus kuajukan lagi pertanyaan yang sama, jawabanya membuatku sangat kesal
“Sri, dibawa nggak bukuku?”
“Nggak. Kamu nggak nyuruh bawa, ya nggak kubawa,”
“Jadi kalau diingatkan dulu baru kamu kembalikan. Niat mengembalikan nggak sih?”
Emosiku mencuak, aku tak mampu mengontrol amarah. Teman-teman yang lain terdiam melihat ekspresiku yang tidak seperti basanya. Aku memang tak pernah berucap kasar apalagi pada sahabat-sahabat karibku yang tergabung dalam “Sembilan keeping hati”.
Akibat ucapan kasarku itu ia tak lagi pernah membalas setiap sms yang kukirimkan. Ucapam hari lebaran pun sama sekali tak ada respon darinya. Ketahuilah teman ... emosiku hanya sesaat!!! kini kebencian itu telah punah. namun akibat luka yang kutorehkan, komunikasiku dengannya agak merenggang. Menyesal ? tentu. Menyesal karena meminjamkan buku dan menyesal telah berucap kasar padanya, sahabatku.
Sejak saat itu aku jadi enggan meminjamkan buku pada siapapun. Aku trauma meminjamkan buku meski kepada sahabatku sendiri. Lantas, akankah aku harus mengubur impianku dalam mewujudkan sebuah “Taman Bacaan Umum” yang berawal dari perpustakaan miniku. Entahlah. Semoga ada keajaiban di balik niat baik ini. Amin.
Binjai, 12 September 2011
Sebagai seseorang yang baru belajar dan menekuni dunia kepenulisan, buku pasti menjadi pedoman paling penting untuk mengembangkan kemampuan dalam menulis. Sebab dengan membaca, banyak pengetahuan baru yang didapat dan bisa kita urai menjadi bait-bait tulisan. Dengan membaca pula kita dapat mengetahui banyak hal tentang ketentuan-ketentuan dalam menulis. Maka dari itu, aku pun mulai mencoba menyisihkan uangku setiap bulannya untuk membeli buku demi menambah koleksi buku yang masih sangat minim kumiliki.
Jujur saja, terkadang aku iri dengan teman-teman penulis lainnya yang telah menyukai dunia kepenulisan sejak kecil, sedangkan aku? Hobi baca saja baru kutekuni kembali pada awal 2011 meski ketika menduduki bangku SD aku sangat menyukainya, namun sayangnya aku sempat meninggalkannya. Menyesal? Tentu. Namun di usiaku sekarang aku tak mau menyia-nyiakannya lagi. Aku ingin benar-benar mencintai dunia baca dan tulis dan tak ingin melepaskannya dalam lingkaran kehidupanku hingga batas yang ditentukanNya.
Aku juga iri melihat teman yang berfoto ria dengan narsisnya bersama koleksi buku-buku mereka yang cukup banyak. Menatanya dengan sangat rapi dalam lemari kaca. Membuat perpustakaan pribadi di rumah mereka. Aku ingin mengikuti jejak mereka, maka karena keirianku itulah muncul ide gilaku untuk rutin membeli buku setiap bulannya. Bahkan aku juga sangat rajin mengikuti kuis-kuis berhadiah buku, hanya untuk menambah koleksi perpustaan pribadiku. Berharap suatu saat perpustakaan pribadiku menjadi perpustaan umum yang dapat dipinjam oleh siapapun. Bukankah berbagi ilmu lewat tulisan ataupun buku adalah hal yang mulia dan patut dibudayakan. Apa salahnya bila kucoba sejak sekarang. Alhamdulillah Allah kasih jala buatku untuk mewujudkan impianku. “Setiap niat baik pasti ada kemudahan” dan itu nyata kualami sebab aku sering memenangkan kuis. Meski memenangkan lomba belum pernah, namun tak mengapalah ^_^. Hidup adalah proses dan saat ini adalah proses pembelajaran bagiku dalam segala aspek.
Namun baru saja niat itu memenuhi relung hatiku. Ada sesuatu yang agaknya mencoba mengubur niatku tersebut. Seorang sahabat yang tergabung dalam “Sembilan Keping Hati” telah mengecewakanku. Sebuah buku kumpulan novelete yang baru saja kubeli dan belum sempat kukhatamkan seluruhnya dipinjam dan belum dikembalikan hingga kini. Hampir tiga bulan lamanya buku itu berada di tangannya namun belum jua ia kembalikan.
Pada kesempatan yang ada aku pernah bertanya padanya
“Sri, bukuku udah selesai kamu baca? Dibawa nggak?”
“Oh udah selesai sih, tapi nggak kubawa, kamu sih nggak mau mengingatkanku lewat sms.”
Satu kali alasannya bisa kuterima. Beberapa waktu kemudian ketika bertemu di kampus kuajukan lagi pertanyaan yang sama, jawabanya membuatku sangat kesal
“Sri, dibawa nggak bukuku?”
“Nggak. Kamu nggak nyuruh bawa, ya nggak kubawa,”
“Jadi kalau diingatkan dulu baru kamu kembalikan. Niat mengembalikan nggak sih?”
Emosiku mencuak, aku tak mampu mengontrol amarah. Teman-teman yang lain terdiam melihat ekspresiku yang tidak seperti basanya. Aku memang tak pernah berucap kasar apalagi pada sahabat-sahabat karibku yang tergabung dalam “Sembilan keeping hati”.
Akibat ucapan kasarku itu ia tak lagi pernah membalas setiap sms yang kukirimkan. Ucapam hari lebaran pun sama sekali tak ada respon darinya. Ketahuilah teman ... emosiku hanya sesaat!!! kini kebencian itu telah punah. namun akibat luka yang kutorehkan, komunikasiku dengannya agak merenggang. Menyesal ? tentu. Menyesal karena meminjamkan buku dan menyesal telah berucap kasar padanya, sahabatku.
Sejak saat itu aku jadi enggan meminjamkan buku pada siapapun. Aku trauma meminjamkan buku meski kepada sahabatku sendiri. Lantas, akankah aku harus mengubur impianku dalam mewujudkan sebuah “Taman Bacaan Umum” yang berawal dari perpustakaan miniku. Entahlah. Semoga ada keajaiban di balik niat baik ini. Amin.
Binjai, 12 September 2011