Minggu, 11sep2011
Dua hari ini Ummi ku lagi galau (bahasa keren bingung). Adikku yang mondok di pesantren, lagi nggak betah banget di pondok, udah 2 hari nangis terus di telpon, setiap ditanya ada masalah apa, jawabannya Cuma “nggak betah lagi, pengen pindah. Pokoknya PINDAH..!”
Selalu itu yang keluar di antara isak tangisnya. Ummi jadi bingung, aku juga. (ikut-ikutan).
awal kenaikan kelas, dia juga minta pindah, udah pasti banget tuh kayaknya bakal pindah sekolah. Nggak tanggung, pindahnya minta ke SMA, nggak mau pesantren lagi. Padahal jelas-jelas tradisi keluarga kami semua mondok, nggak boleh sekolah diluar (nasib punya Buya). Ummiku yang karena sayang anak, ya berusaha nyarikan sekolah buat dia, bariucari-cari informasi aja, eh.. taunya waktu hari H jadwal balik ke pondok, dia mau balik. Mungkin BT nya udah hilang karena liburan di rumah.
Hari-hari berjalan seperti biasa, tak ada telpon horror buat Ummi yang mendengarkan tangis anaknya malam-malam, dia pun mengikuti kegiatan seperti biasa, malahan ikut seleksi untuk lomba MTQ Provinsi Riau di salah satu hotel selama 4 hari. (kemarin ia juara MTQ cabang fahmil Qur’an se kotamdya, sekarang persiapan ke provinsi) Uang sakunya pun melimpah, aku juga kecipratan. Dia dengan riang bercerita pengalamannya nginap di hotel, hanya makan dan tidur dapat uang saku sekian juta. Hm.. aku kira ia sudah lupa dengan keinginannya untuk pindah sekolah, tapi ternyata…
Sejak liburan puasa dan lebaran, kira-kira baru seminggu ia di pondok, tapi lagi-lagi telpon horor bordering di HP Ummi. Kalau dulu-dulu Ummi akan menyuruhku bicara dan menasehatinya dengan hiburan, aku juga menceritakan pengalaman aku pesantren yang jauh lebih menderita dari pada dia sekarang. Dulu aku lulus SD langsung di lempar ke Jakarta untuk mondok disana, pulang hanya saat lebaran, malah ada suatu kali lebaran aku rela tetap stay di Jakarta , karena kehabisan tiket pesawat ,sedangkan naik bis/ kapal butuh 3 hari perjalanan. Tapi aku hanya menangis saat malam takbiran, esoknya au sambut takbir dengan ikhlas, karena ku piker toh aku sedang menuntut ilmu. Tak apalah sesekali tak berkumpul dengan keluarga.
Belum lagi itu, pernah dalam setahun tak ada sekalipun panggilan telpon untukku, begitu sibuknya keluarga di Pekanbaru hingga sekedar menelpon pun tak bisa. Waktu itu belum tenar HP, masih ada telpon rumah, tapi karena rumah pindah, jadi tak ada telpon lagi, aku hanya menelpon ke rumah nenek sesekali. Karena kemarahanku, aku mogok makan dan sholat. Aku menghubungi telpon di rumah nenek dengan teriak-teriak (untung telinga nenek kebal)
“kalau Ummi nggak nelpon icha, icha nggak mau sholat!”
Nenek langsung mengambil tindakan preventif( hihi) ia membujukku dengan mengirimiku makanan-makanan dan uang jajan lebih, setelah itu, aku kembali seperti sedia kala. (dasar ngarep duit jajan lebih)
Dua malam ini aku tak mau lagi mendengarkan tangisnya di telpon, menyusahkan! Masalah kecil dibesar-besarkan, bahkan ia tak mau makan dan belajar, sekolah pun bolos, sesuatuyang jarang bagi seorang juara kelas sepertinya. Cengengnya benar-benar akut.
coba membandingakan dengan gaya hidup mondok adik-adikku, mereka mondok masih di kota ini, setiap hari minggu Ummi akan masak banyak di rumah, kemudian mengantrakan makanan-makanan itu ke pondok mereka secara bergantian ( 2 orang yang pesantren di tempat berbeda). Kalau perlu apa-apa mereka tinggal telpon ke rumah, dan aku akan mengantarkannya. Bahkan kadang sikat gigi pun harus di antar dari rumah.
Uang jajan nya jaaauuhhh.. lebih banyak dari pada waktu aku mondok dulu. Semua sarana lengkap. Pokoknya sangat mewah di bandingkan aku dulu yang hidup di pondok pas-pasan,bahkan kekurangan.
Tapi kenapa dia masih saja tak betah?
Oke, awal ketidakbetahaanya berawal dari MOS saat memasuki kelas II Aliyah, pengangkatan jadi pengurus pondok, adikku sudah takut duluan akan cerita-cerita seram tentang MOS, ia minta pindah sekolah saja, Ummiku melakukan berbagai cara untuk menyikapinya. akhirnya ia minta surat sakit dan izin tidak ikut MOS, ia pun santai-santai di rumah sedangkan teman-temannya sedang melaksanakan program MOS di sekolahnya. Tapi, yang namanya senior tak kan semudah itu meloloskan juniornya, setelah kembali ke pondok, orang-orang yang sebelumnya tak ikut MOS di perintahkan untk ikut MOS susulan, maka pucatlah muka adikku, dengan terpaksa ia mengikuti MOS itu dengan setiap jam menelpon ke rumah sambil menangis #parah
Kini MOS sudah selesai, ia sudah jadi pengurus dan dapat jabatan yang lumayan. Hidupnya sudah tenang. Dan mesalah lain pun bermunculan, karena pengurus, tentu kamarnya pindah ke kamar khuusus pengurus pondok, eh… di sana dia malah nggak betah dan nggak punya teman katanya. Jadi tiap hari ia jarang ada di kamar, selalu main ke kamar teman dekatnya. Dan terjalah cek cok di antara ia dan penghuni kamarnya. Ckck.. rempong deh.. Karena itulah ia beberapa hari ini ngotot minta pindah sekolah. Bahkan tadi aku dengar minta besok Ummi langsung datang kesana. Ckck..
Ummi pun pusing tujuh keliling, mana bisa sekolah menerima murid begitu saaja seakarang, kecuali dengan”amplop” jutaan. apalagi sekolah2 umum sudah memilih jurusan, sedangkan adikkku milih jurusan agama (cita-cita mau kuliah di mesir, geblek) mana ada di sma jurusan agama, selain itu , dia sudah di daftarkan untuk ikut tour yang di adakan pondokknya sekali setahun, mengunjungi pulau jawa, Malaysia dan thailand, uang muka sudah di bayar dan tidak bisa dikembalikan, tapi dia tetap saja ngotot ingin pindah tanpa alas an yang jelas. Aku pun mulai emosi di buatnya, tak tega melihat Ummi yang selesai sholat selalu menangis. tadi sempat ku bentak ia di telpon, tapi jawabannya masih sama, yaitu tangisan yang lebih kuat. Buru-buru Ummi kembali mengambil HP dari tanganku. Huft..
Sesudah magrib tadi Ummi masuk ke kamarku, dengan mata yang merah ia mencoba berkonsultasi denganku, (cie.. anak sulung). Aku sedang terbaring sambil membaca buku, tak tega melihat mata Ummi yang merah, aku pura-pura tetap membaca.
“Masalah besar nih, Ca” kata Ummi sambil pura-pura berkaca di cermin lemariku.
“Sebenarnya masalahnya kecil, Mi, dia aja tuh yang besar-besarkan, cengeng kali jadi orang” kataku sewot.
“Dia sedang dalam masa kacau dan down kali sekarang nih, besok minta jemput dia, macam mana?”
“Jemput ajalah, tapi jangan bawa pulang, bawa ke psikiater aja, atau di ruqyah, mendekati gila dia tuh” tiba-tiba saja terpikir ide seperti itu olehku, kulihat rau wajah Ummi berubah. Mungkin ini emosiku. Tapi mungkin juga bisa membantu.
“emang ada psikiater di Pekanbaru ni?”
“pasti adalah, nanti icha Tanya sama kawan atau browsing”
“Ya udahlah, kita cobak bawa kesana, tapi jangan bilang dulu sama dia”
“ya lah” kataku sambil menarik selimut dan kembali tenggelam dalam buku yang entah apa isinya.
Besok terbayang kami mengantarkannya kesana, ia di Tanya atau mungkin di hipnotis oleh psikiater. Tapi kami tak bisa masuk, jadi aku berencana menyelipkan perekam di sakunya. Ah sayang, aku tak punya webcam sebesar kelereng secanggih punya Lee min Ho di film city hunter. Kalau ada kan enak, ia konsultai di dalam ,sedangkan kami di luar menontonnya dari laptop. Hehe.. besok ku selipkan saja HP yang rekamannya sudah aktif disakunya, di rumah baru aku analisa ada apa dengan adikuu yang cantik satu ini. Wish me luck.
*aduh kepanjangan ampe 3 halaman. Stop deh, kerjaan numpuk. Hey.. sertifikat sejibun.. tunggu aku garap ye.. hiaaattttt
Hari-hari berjalan seperti biasa, tak ada telpon horror buat Ummi yang mendengarkan tangis anaknya malam-malam, dia pun mengikuti kegiatan seperti biasa, malahan ikut seleksi untuk lomba MTQ Provinsi Riau di salah satu hotel selama 4 hari. (kemarin ia juara MTQ cabang fahmil Qur’an se kotamdya, sekarang persiapan ke provinsi) Uang sakunya pun melimpah, aku juga kecipratan. Dia dengan riang bercerita pengalamannya nginap di hotel, hanya makan dan tidur dapat uang saku sekian juta. Hm.. aku kira ia sudah lupa dengan keinginannya untuk pindah sekolah, tapi ternyata…
Sejak liburan puasa dan lebaran, kira-kira baru seminggu ia di pondok, tapi lagi-lagi telpon horor bordering di HP Ummi. Kalau dulu-dulu Ummi akan menyuruhku bicara dan menasehatinya dengan hiburan, aku juga menceritakan pengalaman aku pesantren yang jauh lebih menderita dari pada dia sekarang. Dulu aku lulus SD langsung di lempar ke Jakarta untuk mondok disana, pulang hanya saat lebaran, malah ada suatu kali lebaran aku rela tetap stay di Jakarta , karena kehabisan tiket pesawat ,sedangkan naik bis/ kapal butuh 3 hari perjalanan. Tapi aku hanya menangis saat malam takbiran, esoknya au sambut takbir dengan ikhlas, karena ku piker toh aku sedang menuntut ilmu. Tak apalah sesekali tak berkumpul dengan keluarga.
Belum lagi itu, pernah dalam setahun tak ada sekalipun panggilan telpon untukku, begitu sibuknya keluarga di Pekanbaru hingga sekedar menelpon pun tak bisa. Waktu itu belum tenar HP, masih ada telpon rumah, tapi karena rumah pindah, jadi tak ada telpon lagi, aku hanya menelpon ke rumah nenek sesekali. Karena kemarahanku, aku mogok makan dan sholat. Aku menghubungi telpon di rumah nenek dengan teriak-teriak (untung telinga nenek kebal)
“kalau Ummi nggak nelpon icha, icha nggak mau sholat!”
Nenek langsung mengambil tindakan preventif( hihi) ia membujukku dengan mengirimiku makanan-makanan dan uang jajan lebih, setelah itu, aku kembali seperti sedia kala. (dasar ngarep duit jajan lebih)
Dua malam ini aku tak mau lagi mendengarkan tangisnya di telpon, menyusahkan! Masalah kecil dibesar-besarkan, bahkan ia tak mau makan dan belajar, sekolah pun bolos, sesuatuyang jarang bagi seorang juara kelas sepertinya. Cengengnya benar-benar akut.
coba membandingakan dengan gaya hidup mondok adik-adikku, mereka mondok masih di kota ini, setiap hari minggu Ummi akan masak banyak di rumah, kemudian mengantrakan makanan-makanan itu ke pondok mereka secara bergantian ( 2 orang yang pesantren di tempat berbeda). Kalau perlu apa-apa mereka tinggal telpon ke rumah, dan aku akan mengantarkannya. Bahkan kadang sikat gigi pun harus di antar dari rumah.
Uang jajan nya jaaauuhhh.. lebih banyak dari pada waktu aku mondok dulu. Semua sarana lengkap. Pokoknya sangat mewah di bandingkan aku dulu yang hidup di pondok pas-pasan,bahkan kekurangan.
Tapi kenapa dia masih saja tak betah?
Oke, awal ketidakbetahaanya berawal dari MOS saat memasuki kelas II Aliyah, pengangkatan jadi pengurus pondok, adikku sudah takut duluan akan cerita-cerita seram tentang MOS, ia minta pindah sekolah saja, Ummiku melakukan berbagai cara untuk menyikapinya. akhirnya ia minta surat sakit dan izin tidak ikut MOS, ia pun santai-santai di rumah sedangkan teman-temannya sedang melaksanakan program MOS di sekolahnya. Tapi, yang namanya senior tak kan semudah itu meloloskan juniornya, setelah kembali ke pondok, orang-orang yang sebelumnya tak ikut MOS di perintahkan untk ikut MOS susulan, maka pucatlah muka adikku, dengan terpaksa ia mengikuti MOS itu dengan setiap jam menelpon ke rumah sambil menangis #parah
Kini MOS sudah selesai, ia sudah jadi pengurus dan dapat jabatan yang lumayan. Hidupnya sudah tenang. Dan mesalah lain pun bermunculan, karena pengurus, tentu kamarnya pindah ke kamar khuusus pengurus pondok, eh… di sana dia malah nggak betah dan nggak punya teman katanya. Jadi tiap hari ia jarang ada di kamar, selalu main ke kamar teman dekatnya. Dan terjalah cek cok di antara ia dan penghuni kamarnya. Ckck.. rempong deh.. Karena itulah ia beberapa hari ini ngotot minta pindah sekolah. Bahkan tadi aku dengar minta besok Ummi langsung datang kesana. Ckck..
Ummi pun pusing tujuh keliling, mana bisa sekolah menerima murid begitu saaja seakarang, kecuali dengan”amplop” jutaan. apalagi sekolah2 umum sudah memilih jurusan, sedangkan adikkku milih jurusan agama (cita-cita mau kuliah di mesir, geblek) mana ada di sma jurusan agama, selain itu , dia sudah di daftarkan untuk ikut tour yang di adakan pondokknya sekali setahun, mengunjungi pulau jawa, Malaysia dan thailand, uang muka sudah di bayar dan tidak bisa dikembalikan, tapi dia tetap saja ngotot ingin pindah tanpa alas an yang jelas. Aku pun mulai emosi di buatnya, tak tega melihat Ummi yang selesai sholat selalu menangis. tadi sempat ku bentak ia di telpon, tapi jawabannya masih sama, yaitu tangisan yang lebih kuat. Buru-buru Ummi kembali mengambil HP dari tanganku. Huft..
Sesudah magrib tadi Ummi masuk ke kamarku, dengan mata yang merah ia mencoba berkonsultasi denganku, (cie.. anak sulung). Aku sedang terbaring sambil membaca buku, tak tega melihat mata Ummi yang merah, aku pura-pura tetap membaca.
“Masalah besar nih, Ca” kata Ummi sambil pura-pura berkaca di cermin lemariku.
“Sebenarnya masalahnya kecil, Mi, dia aja tuh yang besar-besarkan, cengeng kali jadi orang” kataku sewot.
“Dia sedang dalam masa kacau dan down kali sekarang nih, besok minta jemput dia, macam mana?”
“Jemput ajalah, tapi jangan bawa pulang, bawa ke psikiater aja, atau di ruqyah, mendekati gila dia tuh” tiba-tiba saja terpikir ide seperti itu olehku, kulihat rau wajah Ummi berubah. Mungkin ini emosiku. Tapi mungkin juga bisa membantu.
“emang ada psikiater di Pekanbaru ni?”
“pasti adalah, nanti icha Tanya sama kawan atau browsing”
“Ya udahlah, kita cobak bawa kesana, tapi jangan bilang dulu sama dia”
“ya lah” kataku sambil menarik selimut dan kembali tenggelam dalam buku yang entah apa isinya.
Besok terbayang kami mengantarkannya kesana, ia di Tanya atau mungkin di hipnotis oleh psikiater. Tapi kami tak bisa masuk, jadi aku berencana menyelipkan perekam di sakunya. Ah sayang, aku tak punya webcam sebesar kelereng secanggih punya Lee min Ho di film city hunter. Kalau ada kan enak, ia konsultai di dalam ,sedangkan kami di luar menontonnya dari laptop. Hehe.. besok ku selipkan saja HP yang rekamannya sudah aktif disakunya, di rumah baru aku analisa ada apa dengan adikuu yang cantik satu ini. Wish me luck.
*aduh kepanjangan ampe 3 halaman. Stop deh, kerjaan numpuk. Hey.. sertifikat sejibun.. tunggu aku garap ye.. hiaaattttt