twitter


Depok, Medio :  Minggu,  11 September 2011
Bapak – Ibu,  Terima Kasih …
Malam ini dilangit kupandang bulan malu-malu menyembul dibalik awan. Dalam kesendirian, sambil menunggu istri pulang kerja, aku mencoba  mengingat kisah masa kecilku. Perasaan rindu ini selalu menyergap setiap relung jiwa dan membuat  ingin kembali kemasa-masa silam. Satu kesan mendalam yang sampai saat ini aku ingat, adalah nasehat – nasehat dari bapak  yang membuat diriku sampai ke tahap setinggi ini dalam pencapaian hidupku. Walaupun menurut sebagian orang belumlah apa –apa, namun aku selalu bersyukur dengan segala yang telah  Tuhan berikan kepadaku.
Kami berasal dari keluarga sederhana, disebuah desa tandus dimana masyarakatnya menggantungkan hidup dari bertani. Desa itu bernama Parang, terletak kurang lebih 13 km dari kota Magetan, Jawa Timur. Disitulah diriku bersama kakak dan almarhum adikku dibesarkan dengan segala keterbatasan dan kenangan indah yang tak terlupakan.
Bapak adalah seorang guru sekolah dasar , dan ibu seorang istri yang membantu perekonomian keluarga dengan mencoba berbagai bidang pekerjaan. Seingatku waktu kami masih kanak – kanak ibu pernah menerima jahitan, membuka  toko kelontong, berjualan sayur di pasar sampai akhirnya memutuskan untuk membuat kue untuk dijual dan  menitipkannya diwarung langganan.  Ternyata dari usaha ini, bapak-ibu mampu membiayai sekolah kami hingga meraih gelar sarjana.
Sewaktu  bapak mendapat tugas mengajar  didesa kelahirannya, sebuah desa terpencil dekat lereng Gunung Lawu dimana masa itu tranportasinya sangat sulit dan dengan segala keterbatasan yang ada, dengan terpaksa bapak – ibu menitipkan  kami berdua , aku dan kakakku untuk diasuh  simbah dari pihak ibu. Hanya adik bungsu kami yang ikut, karena masih minum ASI. Setiap bulan bapak mengirimkan beras jatah PNS, orang menyebutnya    “ beras antrian “ berikut uang sekedarnya untuk kebutuhan kami sebulan.  Terkadang bapak datang sendirian atau bertiga dengan ibu dan adik. Saat  itulah kami melepaskan kerinduan, dengan minta untuk ditemani tidur bapak  sambil mendengar dongeng tentang kisah Timun Emas, Si Kancil yang cerdik  ataupun Malin Kundang.
Dari berbagai kisah tokoh dari dongeng yang telah dituturkan, bapak selalu menyelipkan nasehat kepada kami, antara lain : bahwa seorang anak itu harus rajin belajar agar pintar seperti kancil, tetapi tidak boleh  mempergunakannya untuk menipu atau memperdaya orang lain. Atau  seorang anak itu harus kuat dan berani dalam memerangi ke jahatan seperti  Si Timun Emas yang dapat mengalahkan raksasa yang hendak menelannya bulat-bulat. Dan tak lupa seorang anak haruslah patuh dan selalu berbakti kepada kedua orang tuanya. Jangan seperti Malin Kundang yang menjadi  anak durhaka sehingga dikutuk oleh ibunya  menjadi batu karena malu mengakui sebagai orangtuanya.
Kami sekeluarga  berkumpul kembali ketika bapak mendapat kepercayaan untuk menjabat sebagai kepala sekolah di SD yang tidak  jauh dari rumah simbah. Karena ibu kami adalah anak perempuan sulung, seperti tradisi masyarakat Jawa pada umumnya .maka dimintalah oleh Mbah Kung  dan Mbah Putri untuk menemani dan merawat beliau berdua. Istilahnya dalam Jawa adalah “ mbangkoni”. Jadilah kami sebuah keluarga besar,dimana terkadang ada kerabat  menumpang tinggal di rumah kami. Dengan sendirinya sejak kecil kami telah diajari untuk saling berbagi dan saling menghormati dengan saudara dan orang yang lebih tua, sehingga akan memunculkan rasa welas asih, tolong menolong dan empati dengan sesama, kelak bila kami telah dewasa dan terjun dimasyarakat.
Bapak pernah mengajukan keberatan kepada Mbah Putri karena aku terlalu dimanja olehnya. Beliau beranggapan aku adalah anak laki – laki yang kelak akan menjadi kepala rumah tangga dan imam bagi keluarganya sehingga harus kuat dan tidak boleh cengeng. Hal yang baru aku sadari kini setelah aku berumah tangga dan pergi merantau di Jakarta,  dengan kehidupan metropolis yang lebih ganas dari hutan belantara.
Dalam menerapkan disiplin kepada anak-anaknya bapak sangat keras. Termasuk dalam hal belajar. Habis sholat Magrib kami diwajibkan untuk mengulang pelajaran, mengerjakan PR ataupun mempelajari pelajaran yang akan diajarkan esok hari. Suatu ketika kakakku kesulitan dalam pelajaran perkalian dan pembagian sehingga ia disuruh bapak menghitung dengan menggunakan biji jagung sampai bisa. Maklum kami tinggal di kampung, dan waktu itu belum ada sempoa sehingga media belajar yang digunakan dengan alat yang sangat sederhana sekali. Disamping biji jagung kami juga memakai sapu lidi yang dipotong kecil dan diikat agar tidak tercecer. Walaupun bapak keras, tapi kami sangat menyayangi dan dekat dengannya. Bila waktu belajar sudah usai dan bapak mendapat rejeki lebih kami akan ditraktir makan mie goreng atau tanpa sungkan beliau memasakkan nasi goreng buat kami.
Bapak  mendorong kami untuk menjadi anak yang gemar membaca. Dengan membaca maka pengetahuan kita akan selalu bertambah dan tidak ketinggalan informasi dengan orang yang tinggal di kota besar walaupun rumah kami jauh dari pusat keramaian. Beruntung kami tinggal di kota kecamatan sehingga bapak bisa berlangganan koran daerah lewat seorang agen, walaupun datangnya sering terlambat. Disamping koran bapak juga berlangganan majalah berbahasa Jawa, yang terbit seminggu sekali. Dengan demikian kami dapat belajar adat istiadat, bahasa dan kebudayaan Jawa dengan lebih “ njawani”.   
Waktu kami telah memasuki bangku kuliah, kakak di kota Jember  sedangkan aku dan adik di Malang, bila liburan tiba kami diwajibkan untuk membantu pekerjaan ibu menyiapkan barang dagangan hingga menjualnya. Bila tidak mau membantu, kami tidak akan menerima jatah uang bulanan. Walaupun begitu, kami mengerjakannya dengan senang hati, tidak mengeluh, karena sadar bahwa dengan usaha inilah bapak-ibu mampu menguliahkan ketiga anaknya, sedangkan gaji bapak sebagai seorang guru hanya cukup buat makan dan menambal kebutuhan sehari – hari. Alhamdulillah, kami dapat lulus tepat waktu kecuali adikku yang pergi mendahului kami karena sebuah kecelakaan tragis di kota Batu, Malang. Sekarang kami bekerja sebagai PNS, kakak jadi guru SMP sedangkan aku mengabdi disalah satu kementerian di Jakarta.
Sebelum sebagai PNS, aku pernah bekerja disebuah pabrik mebel di Surabaya dan pindah ke Jakarta karena aku diterima sebagai tenaga akuntansi di BUMN yang bergerak dibidang percetakan tepatnya di daerah Salemba, Jakarta Pusat. Satu petuah bapak yang telah terpatri dan senantiasa aku jadikan pedoman hidup adalah dalam bekerja dimanapun tempatnya harus dilandasi dengan rasa iklas dan penuh kejujuran. Jangan terbawa arus yang membawa pada kerusakan, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Selalu rendah hati dan selalu berpijak ke bumi, jangan selalu melihat  keatas, tidak boleh dengki ataupun iri hati sebab setiap orang mempunyai jalan masing – masing. Apabila kita tekun, berusaha dan berdoa dengan kesungguhan hati, niscaya Tuhan akan memberikan jalan yang terbaik bagi kita.
Keteladanan lain yang patut aku contoh dari bapak adalah kehausannya akan ilmu pengetahuan. Rasa kebanggaan khususnya buat diriku ketika bapak meraih gelar magisternya pada usia yang tidak lagi muda, bahkan mau menjelang pensiun. Bagi beliau sebutan kakek tidak menghalanginya untuk selalu menuntut ilmu.Sedangkan dari ibu aku mengagumi kegigihan, keuletan dan kesabarannya dalam mendampingi bapak dan menghantarkan kami sampai sejauh ini. Terima kasih atas segalanya, dan kami berjanji akan selalu berusaha untuk menjadi kebanggaan buat bapak dan  ibu, walaupun aku tahu beliau berdua tidak pernah meminta balasan berupa apapun.(*)

0 Coment:

Posting Komentar