twitter


13 September 2011

Tanpa pesta, tanpa kue ulang tahun, tanpa seremonial makan-makan walau dengan hidangkan paling sederhana, tanpa sahabat, dan ironisnya tanpa sarapan pagi dan makan siang sedikit pun. Itulah ulang tahun yang kualami 2 tahun yang lalu. Hari yang spesial bagi siapapun yang merasa memiliki hari ulang tahun, yang akan diisi dengan acara-acara penuh makna yang berkesan sampai ke ujung usia.

Tahun itu, adalah masa-masa sulitku hidup di tanah rantau, dan ini adalah penggenap rentetan keprihatinan dari bilangan tahun yang kuhabisi di negeri orang. Pengangguran dan nyaris tanpa penghasilan tetap. Kecuali honor dari tulisan yang itu kadang ada lebih seringnya telat dibayarkan. Risiko berpropesi sebagai tukang bikin tulisan sepertiku. Kondisi paling mirisnya, untuk membalas sms ucapan selamat dari adik-adik binaan menulisku di FLP juga tak bisa. Krisis pulsa. Alamak, lengkap sudah.

Dengan perut yang tak henti-hentinya berdendang sedari pagi, sampai lewat waktu zuhur tak ada sebutir nasi pun yang lewat. Kecuali beberapa gelas air putih, pelunas hutang lapar yang teramat kejam. Haduh. Kucoba menarik napas yang terasa perih sampai ke ulu hati. Mencoba menguatkan kata hati untuk melakukan sesuatu yang bisa aku perbuat untuk bisa melunasi protes sumatera tengahku, yang memang sudah dua hari belum disogok dengna makanan enak, baru sekali dengan nasi itu pun dengan lauk goreng ubi yang dicampur cabai tanpa bawang dan tomat.

Kuraih kunci motor, menarik napas peri sekali lagi. Melirik isi dompet yang tersisa hanya kartu ATM, STNK yang belum dilunasi Mei lalu tanpa selembas uang paling lecet sekalipun. Bismillah.

Tujuanku adalah pustaka sebuah koran harian terbesar di kotaku. Berharap ada satu tulisanku yang dimuat minggu ini. Sepertinya aku lupa mengecek seminggu ini. Harapan masih ada walau setipis kulit bawang. Kalaupun tak ada tulisan yang dimuat, kuberanikan memasang muka tembok untuk berhutang lagi di kedai depan. Hutang adalah makhluk paling menjengkelkan yang kadang kala aku diajak untuk berdamai dalam kondisi seperti ini. Tak ada pilihan yang lebih baik lagi dari itu.

Senyum itu kembali mengembang di wajah kuyuhku, tirus dan ceking. Sebuah opini akhir pekan kemarin menggenapkan balas dendam perutku yang kelaparan. Selepas Ashar, aku menangis sesegukan atas nikmat yang begitu cepat diijabah Allah atas doa dhuhaku pagi tadi.

Aku niatkan untuk berjuang lebih keras lagi. Aku lelah dan muak dengan hidup yang serba terbatas ini. Aku harus mampu membalikan kehidupanku. Karena ada sebuah keluarga yang mengharapkan aku bisa mengangkat batang terendam. Mereka adalah ibu, ayah, kakak dan dua adik perempuanku. Masih segar diingatanku harus berhutang Rp 300 ribu  untuk biaya kuliah adikku. Aku menangis atas kedangkalan akal dan kemadulan pikiranku untuk mencari jalan kreatif untuk melepaskan semua jeratan kemiskinan yang membelengguku bertahun-tahun.

Sejak ulang tahun termiskin dalam hidupku itu, aku ingin membalikkan keadaan. Semoga ini menjadi jawabanku kelak di hadapan-Nya tentang masa muda yang kuhabiskan. Aku melakukan semua ini semata-mata hanya mencari ridha-Nya dan untuk membahagiakan orang-orang yang kucintai yang selalu melafazkan doa-doa cintanya untukku, aku ingin bermanfaat bagi banyak orang.

Bagiku kekalahan paling telak adalah mengukuti nasib dan menyumpahi takdir, lalu menjadi orang paling durhaka kepada Tuhan. Allah memberimu pakaian kemiskinan itu adalah sebuah batu ujian apakah kamu akan sanggup melepaskannya atau justru tetap nyaman memakainya walau hati kecilmu membencinya.

(*Kudedikasikan tulisan sederhana ini untuk Sahabat terbaikku Ghara Xie Shellyanti dan Adik imutku Dekha Sajalah (Khadijah Anwar) yang berulang tahun 13 September.

0 Coment:

Posting Komentar