KONSER JARAN KEPANG
Senin, 13 September 2011
Tempat : Sebuah desa di Lampung bagian utara, samping rumahku.
Hari ini aku menemukan titik jenuh yang sudah hampir melewati ambang batas, aku tak tega melihat tumpukan daging yang ada di sekitar tubuhku, libur masih ada satu minggu lagi, itu berarti kesibukan yang biasanya ku jadikan sebagai sarana pembakar lemakpun akan dimulai minggu depan dan itu berarti kemungkinan kilogram tubuhku membengkak juga itu akan terjadi. Aku berusaha mencari kesibukan, dengan mengintip mama yang sedang dengan semangat menolong seorang ibu melahirkan anaknya (Mamaku seorang bidan, bukan dukun beranak lhoo..hehe) ingin ikut membantu tapi entah mengapa mama melarangku.
Aku menuju dapur. Aku berharap si mbak belum selesai mencuci piring atau baju agar aku bisa membantu sambil mendengarkan radio dangdut kesukaannya. Tapi aku tidak menemukannya. Tidak ada tumpukan piring kotor ataupun baju. Lagi-lagi aku tidak menemukan kegiatan.
Akhirnya, aku memilih untuk duduk di dalam kamar dengan buku "Ilmu Kesehatan Anak, Jilid II" yang selama libur nyaris tak tersentuh. Namun saat aku belum habis satu paragraf membacanya, aku mendengar sebuah tembang jawa yang teralun perlahan, dan semakin lama semakin keras. Aku cepat keluar kamar. Aku melihat di luar rumahku sudah ramai dengan orang-orang yang tidak tau dari mana saja datangnya. Penjual juga sudah menggelar tempat strategisnya untuk berjualan, bahkan ada penjual makanan ringan yang menjadikan teras rumahku sebagai tempat jualannya. Dari es cendol sampe tukang jual terompet ada. Aku baru ingat, kalau tetanggaku hari ini ada gelaran Khitanan (Sunat), sebagai peramai ia mengundang kelompok jaran kepang (Kuda Lumping) di halaman rumahnya yang berada tepat di samping rumahku.
Kejenuhanku seketika hilang. Cepat aku berganti baju dan mengambil hape yang dari tadi di charger, sebuah note kecil dan pena yang terselip di dalamnya sebagai cadangan kalau-kalau hapeku kembali low bat (Batrenya sudah jelek, hehe). Aku teringat sesuatu, aku belum mendapatkan ide untuk sebuah lomba di WR (ada yang bisa tebak?), siapa tau kelemahanku menulis cerpen lokalitas bisa teratasi saat menontonnya.
Hari semakin siang. Matahari kian terik dan bersemangat. Lima penari lelaki yang membawa kuda yang terbuat dari anyaman kertas dan sebuah cambuk itu menari dengan liarnya sambil diiringi tembang jawa. Aku tidak memerdulikan terik dan gersangnya desaku yang sudah hampir tiga bulan terakhir tidak pernah hujan ini.
Jepret sana.
Jepret sini.
Catat sana.
Catat sini.
Aku tidak beranjak sedikitpun. Aku pulang ke rumah hanya untuk sholat dzuhur. Setelah itu balik lagi. Aku memperhatikan sekelilingku. Sudah semakin ramai. Bahkan ada yang datang dari desa yang lumayan jauh dari desaku hanya untuk menonton pertunjukkan yang sarat akan ilmu-ilmu hitamnya ini. Tentu saja mereka datang bukan hanya untuk menonton, tapi juga untuk berjalan-jalan bersama keluarga dan bertemu tetangga dan kerabat yang juga sedang menonton. Aku juga berulang kali di sapa,
"Ibu dokter, apa kabar? Suka jaran kepang juga toh? Ndak nyangka.."
Aku hanya tersenyum mendengar sapaan itu, sapaan yang belum saatnya buatku. Itu ku anggap doa saja. Tak Lama, ada seorang nenek yang menyapaku, dan memberiku payung melihatku berdiri serius di bawah terik tanpa perlindungan
"Nduk, sini sama mbah. Panas lho.."
Aku tersenyum. Dan merapatkan tubuhku di bawah payungnya.
Aku termenung. Sungguh berbeda saat aku menonton pertunjukan artis yang harus bayar mahal untuk menontonnya. Setiap orang akan mementingkan diri sendiri. Sibuk dengan kelompoknya. Tidak begitu dengan konser jaran kepang yang sedang ku tonton ini. Walaupun gratis, walaupun tersaji dengan sangat sederhana, namun bisa mengeratkan hubungan silaturahmi antar warga.
Selama masa liburanku.
Dua pengalaman berharga yang ku dapat.
Pertama, sehari sebelum Lebaran, aku ikut membantu 4 bayi yang lahir bersama mama. Dan yang kedua, saat aku menonton kuda lumping di samping rumahku. ^_^
Kata siapa di kota saja ada konser? Di desapun ada, Konser jaran kepang! hehehe. Menontonnya, hampir sama dengan menonton sirkus. Serius! :P
Senin, 13 September 2011
Tempat : Sebuah desa di Lampung bagian utara, samping rumahku.
Hari ini aku menemukan titik jenuh yang sudah hampir melewati ambang batas, aku tak tega melihat tumpukan daging yang ada di sekitar tubuhku, libur masih ada satu minggu lagi, itu berarti kesibukan yang biasanya ku jadikan sebagai sarana pembakar lemakpun akan dimulai minggu depan dan itu berarti kemungkinan kilogram tubuhku membengkak juga itu akan terjadi. Aku berusaha mencari kesibukan, dengan mengintip mama yang sedang dengan semangat menolong seorang ibu melahirkan anaknya (Mamaku seorang bidan, bukan dukun beranak lhoo..hehe) ingin ikut membantu tapi entah mengapa mama melarangku.
Aku menuju dapur. Aku berharap si mbak belum selesai mencuci piring atau baju agar aku bisa membantu sambil mendengarkan radio dangdut kesukaannya. Tapi aku tidak menemukannya. Tidak ada tumpukan piring kotor ataupun baju. Lagi-lagi aku tidak menemukan kegiatan.
Akhirnya, aku memilih untuk duduk di dalam kamar dengan buku "Ilmu Kesehatan Anak, Jilid II" yang selama libur nyaris tak tersentuh. Namun saat aku belum habis satu paragraf membacanya, aku mendengar sebuah tembang jawa yang teralun perlahan, dan semakin lama semakin keras. Aku cepat keluar kamar. Aku melihat di luar rumahku sudah ramai dengan orang-orang yang tidak tau dari mana saja datangnya. Penjual juga sudah menggelar tempat strategisnya untuk berjualan, bahkan ada penjual makanan ringan yang menjadikan teras rumahku sebagai tempat jualannya. Dari es cendol sampe tukang jual terompet ada. Aku baru ingat, kalau tetanggaku hari ini ada gelaran Khitanan (Sunat), sebagai peramai ia mengundang kelompok jaran kepang (Kuda Lumping) di halaman rumahnya yang berada tepat di samping rumahku.
Kejenuhanku seketika hilang. Cepat aku berganti baju dan mengambil hape yang dari tadi di charger, sebuah note kecil dan pena yang terselip di dalamnya sebagai cadangan kalau-kalau hapeku kembali low bat (Batrenya sudah jelek, hehe). Aku teringat sesuatu, aku belum mendapatkan ide untuk sebuah lomba di WR (ada yang bisa tebak?), siapa tau kelemahanku menulis cerpen lokalitas bisa teratasi saat menontonnya.
Hari semakin siang. Matahari kian terik dan bersemangat. Lima penari lelaki yang membawa kuda yang terbuat dari anyaman kertas dan sebuah cambuk itu menari dengan liarnya sambil diiringi tembang jawa. Aku tidak memerdulikan terik dan gersangnya desaku yang sudah hampir tiga bulan terakhir tidak pernah hujan ini.
Jepret sana.
Jepret sini.
Catat sana.
Catat sini.
Aku tidak beranjak sedikitpun. Aku pulang ke rumah hanya untuk sholat dzuhur. Setelah itu balik lagi. Aku memperhatikan sekelilingku. Sudah semakin ramai. Bahkan ada yang datang dari desa yang lumayan jauh dari desaku hanya untuk menonton pertunjukkan yang sarat akan ilmu-ilmu hitamnya ini. Tentu saja mereka datang bukan hanya untuk menonton, tapi juga untuk berjalan-jalan bersama keluarga dan bertemu tetangga dan kerabat yang juga sedang menonton. Aku juga berulang kali di sapa,
"Ibu dokter, apa kabar? Suka jaran kepang juga toh? Ndak nyangka.."
Aku hanya tersenyum mendengar sapaan itu, sapaan yang belum saatnya buatku. Itu ku anggap doa saja. Tak Lama, ada seorang nenek yang menyapaku, dan memberiku payung melihatku berdiri serius di bawah terik tanpa perlindungan
"Nduk, sini sama mbah. Panas lho.."
Aku tersenyum. Dan merapatkan tubuhku di bawah payungnya.
Aku termenung. Sungguh berbeda saat aku menonton pertunjukan artis yang harus bayar mahal untuk menontonnya. Setiap orang akan mementingkan diri sendiri. Sibuk dengan kelompoknya. Tidak begitu dengan konser jaran kepang yang sedang ku tonton ini. Walaupun gratis, walaupun tersaji dengan sangat sederhana, namun bisa mengeratkan hubungan silaturahmi antar warga.
Selama masa liburanku.
Dua pengalaman berharga yang ku dapat.
Pertama, sehari sebelum Lebaran, aku ikut membantu 4 bayi yang lahir bersama mama. Dan yang kedua, saat aku menonton kuda lumping di samping rumahku. ^_^
Kata siapa di kota saja ada konser? Di desapun ada, Konser jaran kepang! hehehe. Menontonnya, hampir sama dengan menonton sirkus. Serius! :P