Hmm, tadi siang orang Tv datang... Tapi aku sedang kuliah. Orang TV selalu datang dadakan. Apa mereka nggak sempat telepon dan bikin janji dulu?
Terakhir kali yang kuingat, aku masuk channel TV daerah sewaktu aku duduk di bangku kelas 3 SMP. Saat itu aku punya banyak sekali prestasi akademik dan non akademik. Saat itu aku merasa memiliki semua yang aku butuhkan, dan yang kuinginkan. Bahkan yang tak terlalu aku butuhkan pun juga aku miliki. Semuanyaaa....Pacar yang selalu mengerti aku sibuk dengan berbagai tugas OSIS, kepanitiaan dan kompetisi. Sahabat-sahabat yang sudah paham kebiasaan burukku dan tidak menjadikan semua itu sebagai masalah besar. Mereka selalu mempercayaiku, selalu ada untuk menghiburku. Aku juga punya guru-guru yang sangat mencintaiku. Mereka sering kali membangga-banggakan aku di depan adik kelas dan itu begitu membuatku tersanjung. Aku merasa kerja kerasku diberi reward. Itu sangat berharga untuk membangun kepercayaan diriku. Aku selalu yakin semuanya akan baik-baik saja, meskipun aku melakukan kesalahan konyol saat menjawab pertanyaan di depan kelas, saat kerja kelompok, saat pelajaran olah raga, aku selalu tampil apa adanya dan begitu berani. Orang tuaku tak kalah perhatian. Mereka menghadiahkan motor baru, laptop baru, sepeda baru, kamar baru, ruang belajar baru. Aku merasa seperti ada dalam dongeng tidurku.
Tapi semua itu nyata. Mimpi yang benar-benar terealisasikan. Aku selalu mendapat juara 1 umum selama 6 semester. Aku berhasil membuktikan diriku di hadapan semua orang yang dulu pernah mencibirku. Jika harus kuingat-ingat lagi saat itu, sungguh berat dan serius perjuanganku. Pulang sekolah aku sudah harus les pelajaran di sekolah sampai sore jam 4. Dari jam 4 sampai jam lima aku istirahat. Dari jam 5 sampai jam 6, aku makan~mandi~sembahyang. Setelah itu, waktuku kuhabiskan untuk belajar sampai jam 9 malam. Tanpa godaan acara-acara televisi. Aku khusuk sekali belajarnya. Jam 5 pagi aku sudah harus bangun membantu nenekku berjualan sembako dan ikan di warung kami. Jam 6 pagi aku mandi, sarapan, dan akhirnya berangkat ke sekolah. Sampai di sekolah aku mesti bersih-bersih halaman. Melelahkan memang, tapi aku menjalaninya dnegan suka cita sambil bersenandung dengan kawan-kawanku. Semua beban itu tak terasa lagi...
Dulu sewaktu masih duduk di bangku sekolah dasar, aku adalah anak yang sangat terbelakang. Aku lamban, malas, manja, dan pelupa. Sempat aku berpikir, ini adalah efek kecelakaan yang kuperoleh ketika masih bayi. Ibuku membiarkan aku tidur di atas kasur sendiri, akhirnya tubuhku yang masih sangat rapuh itu jatuh ke lantai. Suatu mukjizat waktu itu aku baik-baik saja, seperti tak terjadi apa-apa. Tapi seiring bertambahnya usia, aku yakin ada yang salah dengan diriku karena peristiwa itu. Dan akibat prasangka buruk sekaligus dipanas-panasi orang, aku jadi sering menyalahkan ibuku. Aku membenci hidupku. Bagaimana tidak? Nenekku selalu membanding-bandingkan aku dengan sepupuku yang usianya beda sebulan denganku. Sepupuku yang pandai bersempoa, menyanyi, dan selalu meraih ranking 1 di kelasnya. Nenek juga sering berceloteh, kenapa ia bisa punya cucu berkulit hitam, tinggi, dan kurus sepertiku.
Hal yang membuatku paling tersinggung adalah ketika aku pulang ke kampung halaman. Aku sudah lama tak berkunjung. Dan betapa kagetnya aku ketika seseorang menarik pembantuku dan memanggilnya dengan sebutan \"Gunggek\". Gunggek adalah sebutan untuk putri kaum bangsawan Bali. Dan jujur aku merasa terhina begitu mendengar orang lain tidak mengenaliku. Mungkin karena fisikku yang tidak terduga adalah seorang putri kaum bangsawan. Pembantuku diam saja dipanggil seperti itu, ia sama sekali tidak mengklarifikasi. Aku benar-benar emosi. Aku mengamuk agar orang itu disingkirkan dari hadapanku. Tapi nenekku sudah sangat dekat dengannya dan menjadikan ia sebagai orang kepercayaan. Pembantuku, umurnya tak jauh beda denganku. Diusia yang semuda itu ia sudah harus jadi pembantu. Aku tidak bermaksud membuatnya kehilangan pekerjaan, tapi aku benar-benar ingin memecatnya karena ia tidak mengerti betapa tersinggungnya aku.
Aku tahu secara fisik mungkin aku kurang. Tapi coba tanyakan orang-orang yang sudah lama mengenalku, mereka tahu segala tentangku. Mereka menerimaku. Mereka tahu ada sesuatu yang bisa dibanggakan dari diriku. Pengakuan itulah yang membuatku bisa bertahan hingga saat ini. Aku tak lagi cemas, gelisah, malu, menutup diri, dan menunjukkan ketersinggunganku secara menggebu-gebu. Mungkin semua gadis seusiaku bermimpi menjadi putri sekolah yang populer, dikejar-kejar banyak cowok, mempesona, berkuasa. Terlalu banyak mimpi-mimpi muluk. Sementara aku sendiri punya satu keyakinan, jika aku tampil dengan penuh percaya diri, santun, dan ramah, maka dengan sendirinya aku akan terlihat hebat, menarik, mempesona, dan dicintai semua orang…
Itulah yang kuyakini… Aku akan bertahan, walau bagaimana pun penilaian orang terhadapku. Aku bangga dengan diriku.
Terakhir kali yang kuingat, aku masuk channel TV daerah sewaktu aku duduk di bangku kelas 3 SMP. Saat itu aku punya banyak sekali prestasi akademik dan non akademik. Saat itu aku merasa memiliki semua yang aku butuhkan, dan yang kuinginkan. Bahkan yang tak terlalu aku butuhkan pun juga aku miliki. Semuanyaaa....Pacar yang selalu mengerti aku sibuk dengan berbagai tugas OSIS, kepanitiaan dan kompetisi. Sahabat-sahabat yang sudah paham kebiasaan burukku dan tidak menjadikan semua itu sebagai masalah besar. Mereka selalu mempercayaiku, selalu ada untuk menghiburku. Aku juga punya guru-guru yang sangat mencintaiku. Mereka sering kali membangga-banggakan aku di depan adik kelas dan itu begitu membuatku tersanjung. Aku merasa kerja kerasku diberi reward. Itu sangat berharga untuk membangun kepercayaan diriku. Aku selalu yakin semuanya akan baik-baik saja, meskipun aku melakukan kesalahan konyol saat menjawab pertanyaan di depan kelas, saat kerja kelompok, saat pelajaran olah raga, aku selalu tampil apa adanya dan begitu berani. Orang tuaku tak kalah perhatian. Mereka menghadiahkan motor baru, laptop baru, sepeda baru, kamar baru, ruang belajar baru. Aku merasa seperti ada dalam dongeng tidurku.
Tapi semua itu nyata. Mimpi yang benar-benar terealisasikan. Aku selalu mendapat juara 1 umum selama 6 semester. Aku berhasil membuktikan diriku di hadapan semua orang yang dulu pernah mencibirku. Jika harus kuingat-ingat lagi saat itu, sungguh berat dan serius perjuanganku. Pulang sekolah aku sudah harus les pelajaran di sekolah sampai sore jam 4. Dari jam 4 sampai jam lima aku istirahat. Dari jam 5 sampai jam 6, aku makan~mandi~sembahyang. Setelah itu, waktuku kuhabiskan untuk belajar sampai jam 9 malam. Tanpa godaan acara-acara televisi. Aku khusuk sekali belajarnya. Jam 5 pagi aku sudah harus bangun membantu nenekku berjualan sembako dan ikan di warung kami. Jam 6 pagi aku mandi, sarapan, dan akhirnya berangkat ke sekolah. Sampai di sekolah aku mesti bersih-bersih halaman. Melelahkan memang, tapi aku menjalaninya dnegan suka cita sambil bersenandung dengan kawan-kawanku. Semua beban itu tak terasa lagi...
Dulu sewaktu masih duduk di bangku sekolah dasar, aku adalah anak yang sangat terbelakang. Aku lamban, malas, manja, dan pelupa. Sempat aku berpikir, ini adalah efek kecelakaan yang kuperoleh ketika masih bayi. Ibuku membiarkan aku tidur di atas kasur sendiri, akhirnya tubuhku yang masih sangat rapuh itu jatuh ke lantai. Suatu mukjizat waktu itu aku baik-baik saja, seperti tak terjadi apa-apa. Tapi seiring bertambahnya usia, aku yakin ada yang salah dengan diriku karena peristiwa itu. Dan akibat prasangka buruk sekaligus dipanas-panasi orang, aku jadi sering menyalahkan ibuku. Aku membenci hidupku. Bagaimana tidak? Nenekku selalu membanding-bandingkan aku dengan sepupuku yang usianya beda sebulan denganku. Sepupuku yang pandai bersempoa, menyanyi, dan selalu meraih ranking 1 di kelasnya. Nenek juga sering berceloteh, kenapa ia bisa punya cucu berkulit hitam, tinggi, dan kurus sepertiku.
Hal yang membuatku paling tersinggung adalah ketika aku pulang ke kampung halaman. Aku sudah lama tak berkunjung. Dan betapa kagetnya aku ketika seseorang menarik pembantuku dan memanggilnya dengan sebutan \"Gunggek\". Gunggek adalah sebutan untuk putri kaum bangsawan Bali. Dan jujur aku merasa terhina begitu mendengar orang lain tidak mengenaliku. Mungkin karena fisikku yang tidak terduga adalah seorang putri kaum bangsawan. Pembantuku diam saja dipanggil seperti itu, ia sama sekali tidak mengklarifikasi. Aku benar-benar emosi. Aku mengamuk agar orang itu disingkirkan dari hadapanku. Tapi nenekku sudah sangat dekat dengannya dan menjadikan ia sebagai orang kepercayaan. Pembantuku, umurnya tak jauh beda denganku. Diusia yang semuda itu ia sudah harus jadi pembantu. Aku tidak bermaksud membuatnya kehilangan pekerjaan, tapi aku benar-benar ingin memecatnya karena ia tidak mengerti betapa tersinggungnya aku.
Aku tahu secara fisik mungkin aku kurang. Tapi coba tanyakan orang-orang yang sudah lama mengenalku, mereka tahu segala tentangku. Mereka menerimaku. Mereka tahu ada sesuatu yang bisa dibanggakan dari diriku. Pengakuan itulah yang membuatku bisa bertahan hingga saat ini. Aku tak lagi cemas, gelisah, malu, menutup diri, dan menunjukkan ketersinggunganku secara menggebu-gebu. Mungkin semua gadis seusiaku bermimpi menjadi putri sekolah yang populer, dikejar-kejar banyak cowok, mempesona, berkuasa. Terlalu banyak mimpi-mimpi muluk. Sementara aku sendiri punya satu keyakinan, jika aku tampil dengan penuh percaya diri, santun, dan ramah, maka dengan sendirinya aku akan terlihat hebat, menarik, mempesona, dan dicintai semua orang…
Itulah yang kuyakini… Aku akan bertahan, walau bagaimana pun penilaian orang terhadapku. Aku bangga dengan diriku.