Tangisku karena Bunga Tebu
Memo, 9 September 2011
Saat bunga merah kuning melintas
saat getar sukma membekas
waktu berjalan seiring dengan kehidupan
seiring keceriaan dan senyum menggelora
diriku menatap penuh harap
mungkinkah bunga merah kuning itu kulindungi
tatapan lembut keceriaan berlalu
disaksikan mekarnya bunga tebu
dipertegas merahnya buah cokelat tua
diperharum wanginya daun daun tembakau
diperindah hangatnya pelayanan pengobatan
menghapus dinginnya angin kegalauan
kebebasan bunga merah kuningku
menghisap udara dinamika kehidupan nyata
seakan tak hendak kupelihara
getar nada – nada keceriaan bunga ku
menghisap udara kebebasan dalam kekangan
keterbatasan yang ku miliki
ternyata tak mampu memberi perlindungan
ternyata tak kuasa memberi kehangatan
ternyata tak layak memberi kebahagiaan
kenangan dalam kenangan berjalan tak terlupakan
terhempas pada dinding keterbatasan
biarlah bunga ku lepas bebas
mengarungi pahit manisnya kebebasan
namun ku tetap berhasrat tuk melindungi
dari terpaan badai dan ancaman kekalutan
getar nada kemesraan yang kau rengkuh
tetap akan ada dalam relung hati pengagummu
bunga ku
teruskanlah berkembang tanpa layu
temukan pelindung abadi yang engkau pilih
satu keinginanku
biarlah kenangan manis kebersamaan kita
tidak sekedar tercampak tanpa bekas
bunga ku, mekarlah dan mekarlah selalu
19 Tahun silam, aku minta 1 hektar bunga tebu di petikkan oleh Ayah dan kini masih menjadi sekat buku walau Ayah telah tiada