twitter


[Bukan Buku Harian Biasa] – Yulina Trihaningsih
Tangerang. Senin, 19 September 2001 – Ibu Secantik Bulan dan Bintang
 
            Awalnya aku sedih. Banyak event kepenulisan yang lewat karena kelalaianku sendiri. Padahal, dari jauh-jauh hari sudah kutulis di buku kecilku event-event tersebut, tenggat waktunya, hingga outline tulisan yang akan aku tulis. Ternyata di bulan Ramadan kemarin aku nyaris tidak produktif menulis sama sekali. Selain karena jarang mendapatkan jatah memegang PC di siang hari, karena ngantri dengan dua orang jagoanku yang betul-betul menguasai barang itu dengan alasan: “Kan aku sedang puasa, Bu ....” (apa hubungannya coba?), belakangan ini aku juga sudah tidak kuat lagi terjaga di malam hari untuk menulis. Dan rasanya, sayang sekali bila waktu-waktu Ramadan itu tidak aku kejar untuk mengkhatamkan Alqur’an. Alhamdulillah, masih bisa ikut satu event Ramadan, walau nggak lolos juga :p. Yang penting, aku sudah mencoba lagi melenturkan jemariku merangkai kata setelah sekian lama vakum.
            Entah mengapa, kemalasan untuk mulai menulis terus merembet hingga kini. Bersyukur juga ada program BBHB, jadi aku bisa menulis apa saja yang aku mau. Padahal kalimat-kalimat provokasi yang ditulis PP di statusnya selalu kubaca dan terasa menyentilku, kalau tidak mau dibilang menjewerku. Tapi, entahlah aku masih saja malas untuk mulai menulis. Seperti ketika aku mencari bahan untuk penulisan tentang Palestina kemarin. Yang ada aku malah asyik membaca dan hanya membaca berita maupun artikel tentang perang Palestina. Rasanya sudah tidak bersemangat lagi untuk menuliskan ideku sebelumnya.
Hingga akhirnya aku merenung. Aku tidak mau menulis karena terpaksa. Aku tidak mau menulis karena dikejar tenggat waktu. Aku ingin menulis dengan bahagia. Aku ingin menulis yang aku suka. Aku ingin menulis karena aku cinta. Mungkin itu terdengar seperti  alasan pembenaran yang aku buat sendiri. Tapi sungguh, aku merasa (sedikit lega) dengan kesadaran itu. Karena Hana yang sakit, atau anak-anak yang rewel menuntut perhatian lebih ibunya, atau jaringan internet yang suka bermasalah ketika proses menulisku sedang berjalan, tidak akan lagi membuatku sedih dan kecewa. Sungguh aku belajar lagi arti kesabaran. Bahwa ada hal-hal yang tidak bisa tergantikan, seperti cinta dan kebersamaan dalam keluarga. Kesempatan menulis akan selalu ada, tapi keceriaan dan kesempatan melihat ketiga buah hatiku tumbuh tidak akan pernah terulang lagi.
Kemarin sore, ketika sedang duduk bersama Taufiq, tiba-tiba saja Taufiq bertanya kepadaku.
“Ibu, Ibu cantik nggak?”
“Cantik dong ....”
“Ibu secantik bulan dan bintang!”
Aku tertegun. Belum pernah kudengar kata-kata seindah itu sebelumnya, bahkan dari Ayah J. Dan aku merasa, kata-kata indah itu begitu berharga untuk diabadikan.

0 Coment:

Posting Komentar