Depok, Medio : Rabu - Kamis , 21 - 22 September 2011
Guru Kencing Bediri Murid Kencing Berlari
Kabar tawuran pelajar sebenarnya bukanlah berita baru dikalangan dunia pendidikan kita. Kejadian terbaru yang cukup menyita perhatian adalah tawuran yang terjadi antara siswa SMA 6 dan SMA 70 , Bulungan Jakarta Selatan. Letak ke-2 SMA beredekatan, sekitar 200 meter. Yang lebih memprihatinkan rasa permusuhan tersebut merupakan dendam lama yang telah dipupuk selama puluhan dan diwariskan oleh para senior mereka.
Masalah ini semakin rancu dan berlarut setelah terjadi perampasan kaset peliputan milik kamerawan Trans 7, Oktaviardi, oleh pelajar SMA 6 yang berujung pada permusuhan diantara kedua pihak. Seperti diketahui, sebanyak 11 siswa SMAN 6 Jakarta diperiksa di Polres Jakarta Selatan atas dua laporan yang berbeda yakni kasus penganiayaan terhadap wartawan Trans 7 dan kericuhan antara siswa dengan wartawan pada Senin, 19 September 2011 lalu.
Yang lebih memprihatinkan adalah ungkapan dari Kepala Sekolah SMA 06 : “Kadarwati Mardiutama“ yang menyatakan bahwa tindakan brutal anak didiknya bukan merupakan tanggung jawab pihak sekolah karena dilakukan diluar jam pelajaran. Seolah-olah pihak sekolah lepas tangan dengan masalah ini, padahal didalam UU penddidikan nasional disebutkan ada 3 jenis pendidikan, yaitu pendididkan formal, informal dan nonformal. Dimana tugas seorang guru tidak hanya menyampaikan teori mata pelajaran saja di sekolah tetapi harus menyampaikan nilai-nilai dan norma, dimana aplikasinya diluar jam sekolah atau dimasyarakat.
Menurut pandangan saya guru seperti ini belum menjiwai dan memaknai arti guru sebagai seorang pengajar dan pendidik. Tengoklah tokoh pendidikan kita Ki Hajar Dewantoro dengan petuahnya yang sangat terkenal itu “ Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo mangun Karso, Tut Wuri Handayani” yang artinya di depan menjadi teladan, di tengah membangkitkan semangat, dari belakang mendukung.
Apabila sang guru bersikap untuk melepas tanggung jawab tentu saja sang murid akan menirunya. Jadi tidak perlu heran bila perilaku mereka tidak sopan dan tidak menghargai guru mereka sendiri ketika diberi penyuluhan dan dinasehati. Anak adalah cerminan dari perilaku orang tua. Mereka adalah peniru paling canggih atas apa yang dilihat dan dirasakan. Setiap hari anak-anak kita disuguhi tindakan kekerasan yang dapat dilihat dengan mata telanjang tanpa disensor lebih dahulu. Para politikus saling hujat, anggota DPR saling baku hantam waktu sidang, penggusuran rumah warga, pertikaian antar suku serta tindakan yang seharusnya tidak pantas mereka saksikan
Kesimpulannya adalah siswa tidak hanya harus pintar fisika, matematika, nilai UAN tinggi , jadi juara olimpiade atau prestasi akademis yang terukur lainnya. Tetapi mereka harus peka rasa sosial, tinggi rasa empati, luhur budi pekertinya dan tanggap terhadap nasib sesama.
Semuanya itu tidak didapatkan dibangku sekolah, tetapi dari relasi dan aktivitas sosialnya dikeluarga dan masyarakat. Dengan demikian anak-anak kita akan menjadi manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh dalam perkembangannya. Menurut Ki Hajar Dewantara menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif)). Singkatnya, “educate the head, the heart, and the hand !” Artinya : pendidikan tidak hanya pada masalah kecerdasan otak, tetapi harus pintar dalam berolah rasa dan berbudaya.
Sebuah pelajaran, perenungan dan pekerjaan rumah yang cukup berat bagi kita sebagai orang tua. Kalau kita tidak berbenah dan memperbaikinya mulai sekarang kapan lagi ? Bersama kita bisa, lets go …