twitter


10 Oktober 2011
Harus Bisa!

Ruh, menjadi bisa ternyata tak mudah. Aku harus terpaksa memaksa diriku untuk tetap bertahan menghadapi segala ujian, membiasakan diri untuk terbiasa dengan segala duri yang menggoresku di sepanjang perjalanan. Apapun yang terjadi, aku harus bisa!
Ruh, sudah lama aku tak mengikuti perlombaan. Seperti biasanya, aku menulis tergantung pada mood. Jika sedang di atas normal, aku lebih suka menulis catatan. Catatan yang ku simpan dan ku baca sendiri sebagai terapi diri sendiri. Kadang juga ada beberapa yang sengaja aku tulis dalam catatan facebook atau ku kirimkan kepada seseorang yang ku percaya dan mengerti aku.
Ruh, giliran malam ini, aku ada selera berlomba, ternyata justru membuatku kecewa. Lomba yang ku ikuti ini adalah lomba membuat resensi sebuah buku kumcer dari sebuah Grup di FB, salah satu grup tempatku belajar menulis. Awal keinginanku mengikuti lomba ini simple saja, aku mengidolakan para penulis cerpen dalam buku tersebut. Mengidolakan bukan karena keterkenalan mereka, tapi justru pada kesederhanaan mereka. Yang meskipun sudah terkenal, masih peduli kepada penulis pemula seperti aku ini. Mereka bersedia menjawab pertanyaanku atau sekedar memberi kripik pedas pada tulisanku, hal itu sungguh membuatku senang.
Buku yang akan diresensi itu sengaja ku datangkan jauh-jauh dari Indonesia. Baru kemarin sampai. Meskipun sebelum membeli aku sudah membaca dengan pinjam dari seorang teman, begitu buku itu datang aku baca berulang kali. Karena menurut tulisan yang aku baca, kalau ingin membuat resensi mesti mengerti isi buku yang diresensi.
Selesai membaca dan sekaligus sambil terus baca, aku membuat resensi sebisaku. Karena jujur saja, Ruh, aku tak yakin tulisanku itu sebuah resensi. Berkali baca, berkali tulis, berkali edit. Kemudian aku pubhlis dalam catatan FB, serta mengirim link catatan ke panitia lomba. (Seperti syarat lomba). Sungguh, sebenarnya aku sama sekali tak PD dengan tulisanku, karena aku percaya pasti banyak yang lebih pandai menulis dan mengikuti lomba ini. Tapi aku mengingat semua tujuan awalku. Hanya berpartisipasi tanpa ambisi menang. Boro-boro mikir menang, mikir tulisanku pantas nggak diikutkan lomba saja sudah pusing.
Dan tahu apa yang terjadi,Ruh? Tulisanku dikomentari sebagai tulisan hasil PLAGIAT/COPAS dari tulisan orang lain. Tuing! Tuing! Aku kaget setengah mati, Ruh. Hiks sediiihhhhh… capek-capek mikir dan nulis, eh ternyata. Uft! Aku rasanya seperti dilempar batu, Ruh. Kepalaku langsung pusing gara-gara kagetku.
Aku berusaha menenangkan diriku. Segera aku tutup akun FB-ku, karena tak ingin semakin sakit membaca komentar-komentar orang tersebut. Orang itu ternyata salah satu peserta lomba juga, merasa tulisanku sama dengan apa yang ditulisnya dan ditulis beberapa peserta yang lain. Makanya dia emosi tingkat tinggi. Dan aku? Aku juga emosi, tidak terima! Tapi kamu tahu, Ruh, kalau marah besar aku justru menggunung, tak bisa berkomentar. Hhh…
Aku tak habis piker, Ruh. Kami meresensi buku yang sama, bukankah kemungkinan untuk menulis sama itu ada? Kalau pun copas atau plagiat, bukankah aku mesti membaca tulisan mereka? Bagaimana aku bisa meniru atau mengcopas tulisan mereka, jika aku tidak membacanya?
Andai saja mereka tahu, ya, Ruh. Aku ini seorang babu yang bekerja 24 jam dalam rumah majikan. Kalau aku ingin OL FB otomatis mesti mencuri-curi waktu dari majikanku. Ada lagi, aku ini asli gaptek. Sampai dengan hari ini, mengetik saja pakai dua jari. Hmmm aku taka da waktu untuk membuka dan membaca catatan peserta lain, kecuali yang memang di tag ke akunku. Sedangkan orang yang komentar itu, tak pernah berinteraksi denganku. Hmm…
Ruh… Hiks… (Bisa menangis juga nih. Lumayan lega.)
Aku curhat pada orang-orang terdekatku, Ruh. Dan jawabannya membuatku tenang.
“Mba nggak usah mikir. Berarti orang yang komen itu kelihatan nggak bener. Namanya juga resensi buku, bukunya sama. Ya pastinya banyak kemungkinan untuk sama. Lagian kata-kata kan terbatas, kalau sudah digunakan orang lebih dulu, apa kita nggak boleh pakai? Sabar, ya, Mba… Adik, juga pernah mengalaminya.”
“Sabar, Mak… Para Suker & Juri pasti mengerti maksud Mamak. Mungkin saja dia jarang mengikuti lomba dan berambisi untuk menang, jadinya seperti itu. Santai aja lagi, Mak…”
Ah, Ruh, aku berusaha menyikapi semuanya dengan tenang. Menganggap semuanya sebagai duri, sebagai kerikil dalam perjalananku. Meski jujur saja, Sakiiittt!!! Aku tak akan menjadikan semua ini membuatku trauma atau malas menulis. Aku akan buktikan bahwa aku bisa. Harus bisa!

Ruang Ungu Hatiku:
23:45Pm

0 Coment:

Posting Komentar