twitter


Sabtu, 1 Oktober 2011

Bangun jam 03.00 sudah menjadi rutinitasku sehari-hari. Malas mulai menghinggapi tubuhku. Di dapur sudah banyak teman yang masak. Tapi, aku gak suka kalau masak bersama mereka. Aku lebih suka masak sendiri di suasana sepi. Takut ketahuan kalau gak bias masak. Hehe…


Sony-ku berdering.

“Bisa berangkat jam 10.00?”

Begitulah pesan singkat yang kuterima dari Pakde. Aku lupa kalau hari ini aku pulang ke rumah bersama beliau. Aku pun kelabakan membalas pesan itu karena kartuku dalam masa tenggang. Aku lupa belum isi pulsa. Akhirnya teman sekamarku yang kujadikan sasaran untuk mengisi pulsaku. Setelah masuk, barulah kubalas pesan beliau.


Kosku selalu sepi saat liburan karena teman-teman menghabiskan waktunya untuk istirahat alias tidur. Dan selalu ramai saat hari aktif kuliah. Saat itulah kami sering berebut masuk kamar mandi.


“Mbak, aku ke kampus ya. Ada syura, nih.”

Begitulah ijin yang sering dilontarkan oleh makhluk bernama Ida. Ya, dia teman sekamarku yang tinggal di luar pulau. Kesibukan sehari-harinya selalu bingung memilih baju yang akan dikenakannya.

Arloji sudah menunjukkan angka 09.30. Ida pun berangkat ke kampus, sedangkan aku bersiap-siap untuk meluncur ke rumah Pakde. Ketika di perjalanan menuju rumah beliau, Sony-ku bergetar.

“Assalamu’alaikum. Qori’, kamu di mana?”

“Wa’alaikum salam wa rahmatullah. Aku masih di perjalanan, Pakde.”

Setelah itu telpon langsung kututup. Sesampainya di depan rumahnya, ternyata ada seorang Bapak dan Ibu. Aku pun menyalami mereka. Kemudian permisi masuk ke rumah Pakde.

“Di luar itu siapa, Pakde?”
“Dia adikku.”

Hatiku ketawa kecut mendengarnya. Selama ini aku tak pernah tahu siapa saja keluarga dari Bapakku. Pakde Duki itu sepupu Bapak. Aku baru tahu itu lebaran lalu. Aku juga baru tahu kalau rumahnya dekat dengan kosku. Aku tinggal di gang IAIN, sedangkan Pakde ada di gang Lebar. Adiknya yang ada di halaman rumahnya bernama Pakde Umar, sedangkan perempuan yang bersamanya adalah istrinya.

Kami berangkat sekitar jam 10.00 dengan Honda Jazz biru muda. Meskipun jalan yang kami lewati bernama gang Lebar, tetapi jalannya tak selebar namanya. Jalan itu hanya cukup untuk dilewati satu setengah mobil. Jadi, kalau ada 2 mobil yang lewat, otomatis salah satunya harus mengalah berhenti sejenak dan mepet ke pagar rumah. Yah, begitulah resiko tinggal di kawasan padat penduduk.

Kami pun bisa bernapas lega saat mobil berhasil keluar dari gang. Jemursari pun terlewati. Kawasan Menur ikut terlintas. Akhirnya, Jazz pun memasuki kawasan kenjeran yang mengarah ke jembatan Suramadu. Untuk ketiga kalinya aku melintasi Suramadu dengan kendaraan yang berberda. Pertama kali kulintasi jembatan itu bersama dengan Kak Fatur, sepupuku dengan MegaPro-nya. Kedua, melintas saat konser paduan suara bersama teman-teman Paduan Suara IAIN menggunakan bus pariwisata. Nah, sekarang kulewati jembatan itu dengan Jazz. Kira-kira kapan ya giliranku bisa melewati Suramadu menggunakan truk? Dalam mimpi kali yee…

Akhirnya kita keluar tol Suramadu. Aku menduga kalau kita langsung pulang. Ternyata dugaanku salah. Pakde memutar setirnya ke arah kiri. Itu artinya kita tidak langsung pulang, karena jalan menuju rumah adalah belok kanan. Mobil merangkak pelan. Jazz pun berhenti saat memasuki area parkir Dapur Pottre Koneng, berjarak sekitar 500 meter dari jalan akses Suramadu.

Setelah menemukan tempat yang nyaman untuk bersantai, barulah kita memesan makanan. De Duki pesan ayam goreng dan kopi. De Umar pesan bebek panggang dan the hangat. Istri De Umar pesan gurami bakar dan the hangat. Dan aku pesan udang goreng serta es teh.

Sembari menunggu pesanan, kami pun bercerita tentang keluarga kita. Tak lama kemudian, pesanan pun tiba di meja yang kami singgahi. Hmm, bau masakannya membuatku ingin segera melahapnya. Eits, tunggu dulu. Cuci tangan sebelum makan.

Aku tak begitu memperhatikan masakan yang lain. Aku fokus dengan udang goreng yang ada di depanku. Suapan pertama begitu nikmat. Suara kriuk udangnya membuatku semakin lahap menyantap. Tak sengaja kulirik Bude yang duduk di sampingku.

“Ugh…ugh…ehmmm…”

Makananku seakan berhenti mendadak saat kulihat gurami yang tersaji. Aku pun langsung meminum es yang ada di hadapanku. Ukuran gurami raksasa membuat mataku melotot. Daging tebalnya membuat lapar setiap orang yang melihatnya. Gurami itu nangkring di atas piring berdiameter 25 cm. Bude gak sanggup menghabiskan gurami itu seorang diri. Akhirnya kutawari bantuan untuk menghabiskannya. Hmm, maknyuuuusss…

Setelah melaksanakan hak perut, barulah kita pulang dengan napas lega. Sepanjang perjalanan, sesekali kulirik arlojiku. Aku ingin segera sampai rumah karena ingin sekali bertemu dengan adikku. Dia kerja di Lion Air bertempat di bandara Semarang. Sore ini dia akan balik untuk kerja lagi. Jantungku berdegup kencang.

Akhirnya Jazz pun berada di depan rumah. Ketika menginjakkan kaki di halaman rumah, ibu bilang kalau Dik Kiki sudah berangkat sejak pukul 13.00. Tanpa pikir panjang akhirnya kuhubungi nomornya. Ternyata dia mampir ke rumah Nenek di Kamal. Akhirnya paket yang dititipkan ibu buatku, menginap di rumah Nenek. Barang itu baru kuambil saat ada waktu ke sana. Aku masih kangen Dik Kiki. Love u bro… ^_^

0 Coment:

Posting Komentar